KOTA Andalusia, Spanyol, dikuasai oleh seorang khalifah yang jujur dan adil bernama Al-Manshur bin Abi Amir Al-Hajib. Dia memiliki rencana besar untuk membangun sebuah jembatan sebagai penghubung dua kota yang dipisahkan sebuah sungai.
Proyek itu dianggarkan empat puluh ribu dinar emas. Meskipun menelan biaya besar, khalifah melihat sisi manfaatnya yang lebih besar bagi kelancaran transportasi dan kegiatan perekonomian masyarakatnya.
Diharapkan proyek itu dapat terealisasi. Oleh karena itu, penguasa harus membeli sepetak tanah milik orang tua yang miskin karena pada tanah itulah akan dibangun fondasi untuk jembatan tersebut. Khalifah menyuruh petugas proyek untuk membeli tanah tersebut dengan harga 100 dinar.
Petugas proyek pun melaksanakan perintah tersebut. Ia menemui si pemilik tanah dan bertanya kepadanya, “Berapa akan kaujual tanahmu ini?”
Orang tua miskin itu menjawab, “Lima dinar!”
Melihat tawaran orang tua miskin yang sangat rendah tersebut, petugas proyek berpikir untuk membeli tanah tersebut di bawah harga yang ditetapkan oleh sang khalifah. Artinya, ia telah menghemat pengeluaran negara.
Akhirnya, petugas tersebut menawar tanah yang dimaksud dengan harga 10 dinar, yang berarti dua kali lipat dari harga yang diminta pemilik tanah.
Tentu saja orang tua itu bahagia bukan kepalang. Baginya uang sepuluh dinar sangat besar. Ia bisa membeli tanah baru dan menabung sisanya.
Sementara itu, petugas proyek merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, bahkan menganggap dirinya telah berjasa menghemat pengeluaran negara. Ia pun menceritakan tawar-menawar yang terjadi dan berharap sang khalifah akan memuji idenya.
Mendengar hal tersebut raut wajah sang khalifah menunjukkan kekecewaan yang mendalam kepada petugasnya. Ia pun memerintahkan untuk memanggil lelaki tua miskin itu ke hadapannya.
Perintah pun dilaksanakan. Tidak lama kemudian, lelaki tua itu datang menghadap dengan seribu tanda tanya di kepalanya, “Apakah khalifah akan memarahiku karena telah menjual tanah dengan harga mahal?” pikirnya.
Di luar dugaan, ternyata Khalifah Manshur menyambutnya dengan wajah ceria seraya berkata, “Wahai Bapak Tua, benarkah engkau rela menjual tanahmu dengan harga sepuluh dinar?”
“Benar, Tuan. Aku telah ikhlas menjualnya,” jawab lelaki tua itu.
Khalifah Manshur kembali berkata, “Bapak Tua, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, aku sampaikan terima kasih kepadamu atas kesediaan menjual tanah dengan harga murah. Namun, sebelumnya kami telah menetapkan untuk membeli tanahmu seharga seratus dinar. Jadi, terimalah sisa pembayaran yang harus kauterima!”
Lelaki tua itu terperanjat atas keputusan sang khalifah. Sama sekali ia tidak menyangka hak-haknya akan dihargai sedemikian rupa oleh penguasa. Ia pun berdoa semoga keberkahan senantiasa dicurahkan kepada pemimpin yang adil dan mengutamakan hak-hak rakyatnya.[]