Oleh: Muhammad Abduh Negara
BAHAYA dari kesalahan memahami “beragama itu dengan dalil, tidak boleh dengan akal”, bisa membuat orang menjadi kaku dan tidak toleran terhadap pendapat fiqih yang berbeda.
Lebih lagi, jika ia merasa telah berada di komunitas yang ia anggap pembawa panji kebenaran, maka semua pendapat yang menyelisihi pendapat komunitasnya, akan dianggapnya menyelisihi dalil.
BACA JUGA:Â Carilah Ilmu Agama dan Ilmu Pengetahuan
Saat misalnya ia memahami makna لامستم النساء itu jima’, atau bersentuhan kulit dengan dorongan syahwat, maka sangat mungkin ia akan menganggap pendapat yang menyatakan batal wudhu karena bersentuhan kulit dengan non-mahram meskipun tidak disertai syahwat itu, menyelisihi dalil dan hanya dilandasi oleh logika atau akal saja.
Atau saat memahami bahwa mengusap kepala dalam wudhu itu harus seluruh kepala, berdasarkan sekian hadits, maka ia mungkin menganggap kebolehan mengusap hanya sebagian kecil kepala, berdasarkan analisis terhadap huruf ba’ pada ayat وامسØوا برؤوسكم dan terhadap hadits Ù…Ø³Ø Ø¨Ù†Ø§ØµÙŠØªÙ‡ وعلى العمامة, itu menyelisihi dalil shahih.
Saat ia memahami bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan karena sekian hadits yang menafikan hal tersebut, ia akan menganggap orang yang mengamalkan qunut shubuh itu sebagai pelaku bid’ah dan pengikut hawa nafsu, padahal hadits yang menunjukkan disunnahkannya qunut shubuh juga ada dan dishahihkan oleh sebagian ulama.
BACA JUGA:Â Perjalanan Salman Al-Farisi Menemukan Agama yang Benar
Bahkan bisa jadi pendapat syadz, tentang bolehnya makan dan minum saat adzan shubuh Ramadhan, padahal terbukti fajar shadiq telah terbit, berdasarkan satu hadits yang disampaikan ustadz komunitasnya dan dishahihkan oleh syaikh panutan di komunitasnya, menjadikan ia menolak pendapat mayoritas ulama (atau tepat juga dikatakan: kesepakatan seluruh ulama).
Lalu an mengatakan pendapat itu menyelisihi dalil, tanpa mau peduli terhadap analisis para ulama tentang kedhaifan atau makna yang benar dari hadits tersebut.
Dan banyak contoh lainnya, yang menunjukkan bahayanya salah memahami konsep لو كان الدين بالرأي, apalagi jika ditambah sikap fanatisme buta (ta’ashshub) terhadap komunitasnya. []