SECARA umum, orang Islam tidak diperbolehkan mempercayai kesialan karena kejadian atau peristiwa tertentu. Seperti, Menganggap anak sakit-sakitan karena nama yang terlalu berat atau menganggap bulan Suro atau bulan Muharram adalah bulan keramat.
Anggapan sial dalam bahasan akidah diistilahkan dengan thiyaroh atau tathoyyur. Thiyaroh berasal dari kata burung, artinya dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar, mereka memutuskan dengan melihat pergerakan burung.
BACA JUGA: Mengenai Tanggal dan Hari Baik untuk Menikah, Bagaimana Hukumnya?
Jika burung tersebut bergerak ke kanan, maka itu tanda perjalanannya akan baik. Jika burung tersebut bergerak ke kiri, maka itu tanda mereka harus mengurungkan melakukan safar karena bisa terjadi datangnya musibah diperjalanan.
Namun maksud thiyaroh di sini adalah umum, bukan hanya dengan burung saja. Thiyaroh adalah beranggapan sial ketika tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.
BACA JUGA: Sial Hanya Ada pada Perbuatan Maksiat yang Kita Lakukan
Beranggapan sial atau thiyaroh termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum Islam. Lihatlah bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah.
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).
BACA JUGA: Nikah di Bulan Syawal Bikin Sial?
Thiyaroh termasuk kepada kesyirikan. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224). []
SUMBER: RUMAYSHO