ADA sebagian pihak yang menyatakan, bahwa Imam An-Nawawi berpendapat tidak disyari’atkan untuk melafadzkan niat. Alasannya, imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-majmu’ Syarhul Muhadzab” membantah imam Abu Abdillah Az-Zubairi, salah seorang ulama Syafi’iyyah yang – katanya – berpendapat akan disyari’atkannya melafadzkan niat. Ini sebuah kekeliruan yang cukup fatal. Mari kita buktikan!
Di sini, kita akan bawakan perkataan Imam An-Nawawi yang dimaksud, baru nanti kita jelaskan sisi kekeliruannya. Imam An-Nawawi (w. 676 H) menyatakan :
وَفِيهِ الْوَجْهُ الَّذِي ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَذَكَرَهُ غَيْرُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي هُوَ قَوْلُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ حَتَّى يُجْمِعَ بَيْنَ نِيَّةِ الْقَلْبِ وَتَلَفُّظِ اللِّسَانِ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ فِي الْحَجِّ إذَا نَوَى حَجًّا أَوْ عمرة أجزأ وَإِنْ لَمْ يَتَلَفَّظْ وَلَيْسَ كَالصَّلَاةِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ: وَلَوْ تَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَنْوِ بِقَلْبِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ بِالْإِجْمَاعِ
“Dalam hal ini (masalah niat), ada pendapat yang disebutkan oleh pengarang (imam Asy-Syirazi) dan disebutkan pula oleh selain beliau. Pengarang kitab “Al-Hawi” (maksudnya imam Al-Mawardi) menyatakan, bahwa ini merupakan pendapat Abu Abdillah Az-Zubairi, (pendapat tersebut adalah) : “Tidak sah baginya sampai mengumpulkan antara niat dalam hati dengan melafadzkannya dengan lisan. Karena Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata dalam masalah Haji, : Apabila seorang berniat haji atau umrah, maka telah cukup baginya (telah sah) walaupun tidak melafadzkan (niatnya), tidak seperti shalat, tidak sah kecuali dengan mengucapkannya.” Para sahabat kami menyatakan : Yang menyatakan pendapat ini telah keliru. Bukanlah ini yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi’i dengan “mengucapkannya di dalam shalat”, bahkan yang dimaksud adalah ucapan “takbir”. Seandainya seorang mengucapkan niat dengan lisannya tapi tidak meniatkan dengan hatinya, maka shalatnya tidak sah dengan ijma’ ulama.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab : 3/277 cetakan Darul Fikr].
BACA JUGA: Niat Adalah yang Paling Utama
Pembaca yang budiman,
Yang dibantah oleh Imam An-Nawawi dari pernyataan Abu Abdillah Az-Zubairi dengan membawakan ucapan para ulama Syafi’iyyah, adalah masalah “pensyaratan melafadzkan niat”, bukan masalah anjuran melafadzkannya. Karena dalam hal ini, Az-Zubairi berpendapat bahwa malafadzkan niat termasuk “syarat sahnya” suatu ibadah. seorang yang berniat dalam hati saja tidak cukup, artinya tidak sah ibadahnya, sampai dia melafadzkan niatnya. Perhatikan dengan cermat ucapan Az-Zubairi pada nukilan di atas.
Sependek yang kami tahu, tidak ada seorangpun ulama’ dari madzhab Syafi’i yang berpendapat akan disyaratkannya melafadzkan niat kecuali Abu Abdillah Az-Zubairi. Yang mana pendapat ini adalah pendapat yang menyelisihi mayoritas bahkan seluruh ulama Syafi’iyyah. Karena para ulama Syafi’iyyah hanya berpendapat “dianjurkan” atau “disunahkan” melafadzkan niat, bukan “mensyaratkannya”.
Konsekwensinya, jika seorang sudah berniat dalam hati, akan tetapi tidak melafadzkannya, maka ibadahnya telah sah.
Selain itu, pendapat Az-Zubairi ini tidak memiliki dalil, tapi hanya didasarkan kepada pemahaman yang salah terhadap ucapan imam Asy-Syafi’i. Dimana yang dimaksud dengan kalimat “sampai mengucapkannya”, bukanlah niat, akan tetapi takbir. Kesalahan ini adalah bersifat personal (baca : oknum), tidak mewakili madzhab Syafi’i ataupun ulama Syafi’iyyah.
Sehingga kalau disimpulkan, bantahan imam An-Nawawi kepada Az-Zubairi dalam dua point ; Pertama : “Pensyaratan” dalam melafadzkan nait, dan kedua : kesalahan dalam memahami ucapan Imam Asy-Syafi’i. Adapun masalah anjuran melafadzkan nait, merupakan pendapat imam An-Nawawi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah, bahkan jumhur ulama’. Untuk lebih kuat, kami akan nukilkan ucapan-ucapan imam An-Nawawi dalam hal ini.
Imam An-Nawawi dalam “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab” (6/289) menyatakan :
وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَكْفِي عَنْ نِيَّةِ الْقَلْبِ بِلَا خِلَافٍ وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ كَمَا سَبَقَ فِي الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ
“Tempat niat di dalam hati, tidak disyaratkan/diwajibkan untuk diucapkan dengan lisan tanpa ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama Syafi’iyyah), tidak cukup tanpa diniatkan dalam hati tanpa ada perbedaan pendapat. Akan tetapi DIANJURKAN untuk dilafadzkan mengiringi niat dalam hati sebagaimana telah berlalu pembahasannya di dalam bab wudhu dan shalat.”
Pada nikilan di atas, Imam An-Nawawi dengan tegas menyatakan, bahwa malafadzkan niat merupakan perkara yang “dianjurkan”. Selain itu, beliau juga menyatakan bahwa melafadzkan niat “bukan syarat”, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah, bahkan di luar madzhab Syafi’iyyah sekalipun. Ini tegas membantah pendapat Az-Zubairi yang menyatakan bahwa melafadzkan niat termasuk syarat sahnya ibadah. Ini juga sebagai bukti, bahwa Az-Zubairi telah menyelisihi kesepakatan ulama. Sehingg pendapatnya ghairu mu’tabar (tidak diperhitungkan/tidak dianggap sama sekali).
Imam An-Nawawi juga menyatakan dalam kitab “Minhaj Ath-Thalibin” hlm. (25) :
وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَيُنْدَبُ النُطْقُ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ
“Niat diwujudkan dengan hati, dan dianjurkan untuk diucapkan sebelum takbir ihram.”
Imam An-Nawawi dalam “Raudhah Ath-Thalibin” (1/228) juga berkata :
النِّيَّةُ فِي جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مُعْتَبَرَةٌ بِالْقَلْبِ، وَلَا يَكْفِي فِيهَا نُطْقُ اللِّسَانِ مَعَ غَفْلَةِ الْقَلْبِ، وَلَا يُشْتَرَطُ وَلَا يَضُرُّ مُخَالَفَتُهُ الْقَلْبَ. كَمَنْ قَصَدَ بِقَلْبِهِ الظُّهْرَ، وَجَرَى لِسَانُهُ بِالْعَصْرِ انْعَقَدَ ظُهْرُهُ، وَلَنَا وَجْهٌ شَاذٌّ: أَنَّهُ يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ وَهُوَ غَلَطٌ.
“Niat dalam seluruh ibadah diperhitungkan dengan hati. Tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan di dalamnya bersama adanya kelalaian hati. Tidak disyaratkan untuk dilafadzkan dan tidak memudharatkan penyelisihan lisan terhadap hati. Seperti seorang yang berniat shalat Dhuhur dengan hatinya, namun lisannya mengucapkan shalat Ashar, maka shalat Dhuhurnya tetap sah. Di dalam madzhab kami ada pendapat “nyleneh”, yaitu : sesunggunya disyaratkan untuk mengucapkan niat dengan lisan, dan ini merupakan pendapat yang salah.”
Di sini, imam An-Nawawi kembali membantah pendapat Az-Zubairi dengan melebelinya sebagai pendapat yang “nyeneh” dan “salah”.
Pendapat yang menyatakan dianjurkannya melafadzkan nait, merupakan pendapat jumhur ulama Syafi’iyyah, bahkan kesepakatan mereka, bukan pendapat sebagian kecil dari mereka sebagaimana yang dituduhkan. Hal ini ditegaskan oleh Imam An-Nawawi sendiri, dimana beliau menyatakan dalam “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” ( 1/316) :
النِّيَّةُ الْوَاجِبَةُ فِي الْوُضُوءِ هِيَ النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَلَا يَجِبُ اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ مَعَهَا: وَلَا يجزئ وحده وان جمعها فَهُوَ آكَدُ وَأَفْضَلُ هَكَذَا قَالَهُ الْأَصْحَابُ وَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ
“Niat yang wajib di dalam wudhu’, adalah niat di dalam hati, tidak wajib melafadzkannya dengan lisan, dan tidak cukup sekedar (melafadzkannya) saja tanpa niat dalam hati. Jika seorang mengabungkannya (antara niat di dalam hati dan melafadzkannya), maka hal itu lebih kuat dan lebih afdhal (lebih utama). Demikianlah dinyatakan oleh para ulama’ Syafi’iyyah dan mereka SEPAKAT atas hal ini.”
Perhatikan kalimat terakhir : “Jika seorang mengabungkannya (antara niat di dalam hati dan melafadzkannya), maka hal itu lebih kuat dan lebih afdhal (lebih utama). Demikianlah dinyatakan oleh para ulama’ Syafi’iyyah dan mereka SEPAKAT atas hal ini.”
Bahkan menurut Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili Asy-Syafi’i –rahimahullah – (w. 2015), anjuran melafadzkan niat, merupakan pendapat mayoritas ulama madzhab. Dalam kitab “Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu (3/1571) beliau menyatakan :
ومحل النية: القلب، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً. لكن يسن عند الجمهور (غير المالكية) التلفظ بها
“Tempat niat di dalam hati. Dipastikan tidak cukup dengan lisan saja. Juga dipastikan tidak disyaratkan untuk melafadzkannya. Akan tetapi menurut jumhur (mayoritas ulama) (selain Malikiyyah) disunnahkan/dianjurkan untuk melafadzkannya ”.
Jika tidak karena khawatir tulisan ini akan terlalu panjang, sebenarnya kami ingin menyebutkan pernyataan-pernyataan para ulama dari empat madzhab yang mengajurkan untuk melafadzkan niat plus referensinya. Semoga dalam kesempatan lain bisa terwujud dengan ijin Allah.
BACA JUGA: Luruskan Niat agar Jodoh Mendekat
Kesimpulan :
1). Para ulama sepakat, bahwa niat tempatnya di hati, bukan di lisan. Para ulama juga sepakat, bahwa seorang yang sudah niat dengan hatinya tanpa mengucapkannya dengan lisan, ibadahnya telah sah. Para ulama juga sepakat, bahwa seorang yang mengucapkan niat dengan lisannya, akan tetapi hatinya tidak berniat, maka ibadahnya tidak sah.
2). Jumhur ulama madzhab yang empat termasuk di dalamnya Imam An-Nawawi “menganjurkan” untuk melafadzkan niat, dalam rangka untuk menguatkan niat di dalam hati, bukan mensyaratkannya. Jadi pengucapkan niat dengan lisan itu, hakikatnya bukan niat, tapi kedudukannya hanya wasilah (perantara) untuk mewujudkan dan menguatkan niat dalam hati, karena niat letaknya dalam hati. Ibarat garis dalam meluruskan shaf shalat.
3). Pendapat Az-Zubairi yang menyatakan bahwa melafadzkan niat merupakan “syarat sahnya” ibadah, merupakan pendapat yang keliru dan nyeleneh, karena telah menyelisih kesepakatan para ulama dan telah dibantah oleh imam An-Nawawi.
Alhamdulillah Rabbal ‘alamin. Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani