TANYA: Benarkah Nabi Adam diturunkan di India, dan Hawa di Mekah?
JAWAB:
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (QS. al-Baqarah: 36)
Keterangan yang disebutkan dalam Alquran, bahwa Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, setelah dia memakan pohon larangan.
BACA JUGA: Kata yang Diucapkan Nabi Adam Saat Pertama Kali Melihat Hawa
Sementara mengenai tempat di mana Adam diturunkan, tidak ada keterangannya sama sekali dalam al-Quran. Dan kami juga tidak menjumpai adanya hadis shahih yang menyebutkan hal ini. Memang ada beberapa hadis yang menyebutkan tempat turunnya Adam di Bumi, namun statusnya dhaif.
Seperti hadis,
نزل آدم الهند واستوحش
Adam turun di India dan beliau merasa asing.
Hadis ini diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Tarikh Damaskun (7/437), dan statusnya dhaif. Sebagaimana keterangan dalam as-Silsilah ad-Daifah.
Hanya saja, ada beberapa keterangan para ulama mengenai tempat turunnya Nabi Adam. Namun karena tidak didukung dalil, keterangan mereka beraneka ragam. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan sekitar 4 pendapat mengeai hal ini,
1. Adam diturunkan di India, sedangkan Hawa diturunkan di Jedah. Ini pendapat Hasan al-Bashri
2. Adam dan Hawa keduanya diturunkan di India.
3. Adam diturunkan di satu daerah namanya Dahna, antara Mekah dan Thaif. Ini keterangan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Sementara diriwayatkan Imran bin Uyainah, Dahna adalah satu tempat di India.
BACA JUGA: Saat Anakku Bertanya, Apakah Karena Dosa Nabi Adam Diturunkan Allah dari Surga?
4. Adam diturunkan di Shafa dan Hawa diturunkan di Marwah. Ini merupakan keterangan Ibnu Umar menurut riwayat Ibnu Abi Hatim. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/237).
Terlepas dari semua pendapat di atas, kajian masalah ini masuk dalam ranah kajian masalah ghaib. Sementara kita tidak boleh berbicara masalah ghaib kecuali sebatas informasi yang diberitakan oleh pemilik kabar ghaib, Allah ta’ala atau melalui wahyu Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping mempelajari masalah ini tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi ketakwaan kita. Wallahu a’lam. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH