Oleh: Zulfahmi Djalaluddin
LISAN bagaikan pedang bermata dua. Seseorang yang memanfaatkan lisan dengan sebaik-baiknya bisa menjadi sumber pahala baginya dan bisa menjadi penyebab ia masuk ke dalam surga. Namun sebaliknya, seseorang yang menyalahgunakan lisannya dapat membuahkan dosa sehingga menyeret dirinya ke dalam neraka.
Salah satu dosa lisan yang patut diwaspadai oleh manusia adalah debat kusir. Rasulullah SAW melarang berdebat. Beliau bersabda:
لَا تُمَارِ أَخَاكَ, وَلَا تُمَازِحْهُ, وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ
“Janganlah engkau mendebat saudaramu, janganlah engkau mencandainya, dan janganlah engkau berjanji kepadanya dengan satu janji yang engkau akan menyelisihinya.” (HR Tirmidzi no. 1995 dengan sanad yang lemah).
Para ulama menjelaskan bahwa hadits ini meskipun secara sanad adalah hadits yang lemah akan tetapi maknanya benar karena didukung oleh hadits-hadits yang lain. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang lain:
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci oleh Allah Ta’ala adalah orang yang suka berdebat (paling lihai dalam berdebat).” (HR Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)
BACA JUGA: Kata Nabi, Allah SWT Benci dengan Orang yang Banyak Bicara
Larangan berdebat yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah berdebat yang tujuannya bukan untuk mencapai kebenaran tetapi untuk mencari kemenangan atau berdebat untuk mencari kebenaran tetapi tidak menjaga adab. Begitu pula berdebat dengan tujuan untuk menampakkan kesalahan lawan debat kita atau dalam rangka untuk menunjukan kehebatan cara berbicara kita. Bentuk perdebatan semacam ini dilarang oleh Rasulullah SAW karena perdebatan ini hanya akan menimbulkan kejengkelan dan permusuhan. Padahal Islam melarang kebencian dan permusuhan dalam agama.
Adapun perdebatan dalam rangka untuk mencari kebenaran, berdebat sesuai adab, menghormati pendapat lawan debat, dan saling mendengarkan argumen, maka hal ini tidak jadi masalah. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl 16: 125)
Bahkan kepada ahlul kitab pun kita boleh berdebat dengan syarat harus dibangun di atas cara-cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Janganlah kalian mendebat ahli kitab kecuali dengan cara yang baik.” (QS. Al-‘Ankabut 29: 46)
Jika berdebat dengan ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) yang notabene bukanlah saudara kita, kita diperintahkan mendebatnya dengan cara yang terbaik, maka lebih-lebih berdebat dengan saudara kita sesama muslim.
Perhatikanlah orang yang suka berdebat (dalam rangka untuk memenangkan dirinya), kebanyakannya tidak disukai oleh orang-orang karena isi pembicaraannya hanya debat dan debat. Apabila kita berdialog dengan seseorang yang niatnya hanya untuk memenangkan dirinya maka sebaiknya kita meninggalkan debat tersebut. Hendaknya kita mengingat hadits Nabi SAW,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“Aku menjamin istana di pinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia di atas kebenaran.” (HR Abu Dawud no. 4800 dengan sanad yang hasan)
Bentuk lainnya adalah perdebatan yang mencari kebenaran tetapi tanpa adab. Misalnya dia memakai kata-kata kotor, menggunakan kata-kata cacian, mengangkat tinggi suaranya, dan menunjukkan kemarahan. Hendaknya kita meninggalkan perdebatan tersebut, karena apabila keadaannya telah diliputi amarah, ketahuilah bahwasanya setan mulai ikut campur. Tinggalkanlah meskipun yang akan memenangkan perdebatan tersebut adalah kita tetapi setelah selesai yang tersisa hanyalah kebencian, dendam, dan benih-benih permusuhan diantara kaum muslimin.
Oleh karena itu, Allah melarang debat ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat, dan berdebat dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. Al-Baqarah 2: 197)
Allah menginginkan haji sebagai fenomena persatuan kaum muslimin. Jangan sampai persatuan tersebut terganggu oleh debat kusir. Apalagi orang-orang yang sedang bersafar rawan terjadi perbedaan diantara mereka. Boleh jadi jamaah haji tersebut tidak menaati pemimpinnya, atau dia berselisih dengan jamaah haji yang lain, sehingga memicu pertengkaran diantara mereka. Oleh karena itu, Allah menyuruh para jamaah haji agar tidak berdebat atau berusaha mengalah sehingga haji bisa dilaksanakan dengan tenteram dan khusyu’.
BACA JUGA: Jaga Lisan, karena Banyak Bicara Bisa Jebloskan Seseorang ke Neraka
Oleh karena itu, ingatlah bahwa debat kusir itu seringnya berbuah permusuhan, meskipun dalam rangka mencari kebenaran, namun jika tidak disertai adab-adab yang syar’i maka perdebatan tersebut sebaiknya ditinggalkan, kemudian kita berharap agar dibangunkan istana di surga oleh Allah Ta’ala. Namun bila saudara yang mengajak kita berdebat menjaga adab maka tidak mengapa bagi kita untuk melayaninya asalkan dengan cara yang baik.
Hal yang harus diperhatikan juga yaitu apabila seseorang terlibat dalam sebuah forum perdebatan, dia harus siap untuk dikritik sebagaimana dia bisa mengkritik. Ketika seseorang mengkritik, hal tersebut harus dilakukan dengan penuh adab, karena mencari kebenaran itu perlu tetapi menjaga kesatuan hati juga tidak boleh dikesampingkan. Jangan sampai karena ingin mencari kebenaran, tali persatuan dirobek. Oleh karena itu, perdebatan yang dibangun di atas niat sekedar ingin mencari kemenangan atau mencari kebenaran tetapi tanpa adab, hendaknya ditinggalkan karena tidak ada manfaatnya. []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM