SEBELUM itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada mereka:
“… Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya,” (QS al-Qashash: 23).
Selanjutnya, Al-Qur’an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a AS dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.
Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.
BACA JUGA:Â Memfitnah Sesama Muslim, Ini Balasannya
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Quran diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)
Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya “berpenyakit.” Namun, dengan ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik”
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits diatas mereka artikan dengan “wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan.”
Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah. Allah berfirman:
“… Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ….” (QS al-Anbiya: 35)
Al-Qur’an juga menyebutkan harta dan anak-anak – yang merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya –
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)…” (QS at-Taghabun: 15)
“Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan …” (QS al-Anfal: 28)
BAC AJUGA:Â Ketika Rasulullah Melihat Berbagai Macam Fitnah Terjadi di Sela Rumah-rumah
Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”(QS al-Munaafiqun: 9)
Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah oleh wanita. Terfitnah oleh istri-istri mereka yang menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari kepentingan-kepentingan umum.
Mengenai hal ini Al-Quran memperingatkan:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka …” (QS at-Taghabun: 14).
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya.” (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari).
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah SAW hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran.
BACA JUGA: Awal Fitnah yang Terjadi Di Tengah-Tengah Umat
Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda:
“Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik” (HR. Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2, dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dengan hadits diatas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa mereka sadari. [].
Referensi: Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2/DR. Yusuf Al-Qaradhawi/Gema Insani Press.Â