Oleh: Bukhori Ahmad Muslim
BANYAK bencana yang akhir-akhir ini berkunjung di negeri kita yang tercinta ini. Sebutlah gempa di Nusa Tenggara Barat, lalu di Palu dan Donggala, dan akhir-akhir ini tsunami di Selat Sunda akibat erupsi anak Gunung Krakatau. Timbul banyak perdebatan di sosial media.
“Bencana ini akibat maksiat yang melanda di negeri ini.”
BACA JUGA: Perayaan Tahun Baru di Tengah Bencana
“Hari gini masih mengaitkan bencana dengan maksiat? Jelas-jelas kita tinggal di daerah rawan bencana. Bencana alam adalah kejadian yang dapat dijelaskan secara ilmiah.”
Sebenarnya bagaimana cara kita menyikapi dua kutub yang berbeda ini? Pertama kita harus pahami bahwa dalam Islam ada yang namanya sabab kauni dan sabab syar’i.
Bisa dikatakan kata ‘sebab’ di bahasa Indonesia menyerap kata ‘sabab’ dari bahasa Arab. Sabab kauni adalah hubungan sebab-akibat secara nyata yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Seperti gempa tektonik adalah akibat pergesaran lempeng bumi. Adapun sabab syar’i adalah sebab yang ditentukan oleh syariat walaupun bisa jadi bukan merupakan sabab kauni. Seperti ada hadis bahwa siapa yang ingin dilapangan rezekinya maka hendaknya menyambung silaturrahim.
Sabab kauni tidak diingkari dalam Islam bahkan kita dianjurkan untuk mempelajarinya untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk terjadi. Misal karena kita mengetahui tanda-tanda sebelum bencana di sebuat tempat maka kita sudah menjauhkan diri dari daerah tersebut. Contoh lain karena kita mengetahui ada wabah di sebuah tempat maka kita tidak menuju ke sana tanpa perlindungan khusus yang terbukti efektif seperti imunisasi.
Namun, jangan lupakan dengan yang namanya sabab syar’i. Ada sebab yang sudah Allah wartakan kepada kita melalui Alquran. “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Terjemah Alquran surat Al-Anfal ayat 25) Allah sudah menegaskan bahwa terjadinya kezhaliman dan maksiat di sebuah tempat akan mengundang sebuah siksaan, bencana, azab yang tidak hanya orang-orang berdosa yang terkena. Semua orang yang berada di lingkungan itupun juga akan tertimpa.
BACA JUGA: Masalah Bukanlah Bencana, Tapi Pendewasaan!
Walaupun seperti itu, bukan berarti di setiap bencana alam kita menyalahkan orang lain maksiat di sana. Selain dalam fikih dakwah (ilmu cara berdakwah) hal itu tidak tepat jika dilakukan kepada orang yang berduka dan bersedih, namun juga hendaknya dalam urusan maksiat hendaknya diri lebih dahulu bertanya kepada diri sendiri alih-alih memvonis orang lain berdosa.
Jangan memperberat pertanggungjawaban kita di akhirat dengan perkataan vonis bahwa bencana ini terjadi karena si X melakukan maksiat Y. Namun, di dunia ini tanyakan pada diri sendiri, “Apakah bencana ini terjadi akibat dosaku?” []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.