Oleh: Newisha Alifa
Bismillahirrohmanirrohiim …
Tentu masih segar dalam ingatan kita, betapa mencekamnya kondisi Lombok yang sejak dua bulan lalu harus ‘berkawan’ dengan gempa.
Gelombang dahsyat yang dikhawatirkan akan meluluhlantahkan Lombok … Sepekan lalu justeru memilih titik lain; Palu, Donggala dan sekitarnya.
BACA JUGA:Â MUI Palu: Karena Darurat, Jenazah Korban Boleh Dibakar, tapi…
Kita serasa ‘kecolongan’ …
Tapi kecolongan dari siapa? Tuhan?
Toh semesta ini ada dalam genggaman-Nya. Memang kalau Dia mau tunjuk sana-sini untuk dilumat habis, kita bisa apa? Memangnya kita ini siapa? Kita cuma hamba!
Memaknai bencana yang datang bertubi-tubi pada negeri ini, ada yang segera mengingatkan tentang dosa dan maksiat.
Iya … Maksiat apa, dosa apa yang sudah diperbuat hingga Allah murka?
Namun di sisi lain, ada yang menahan untuk tidak membahas tentang azab. Tak tepat katanya. Yang mereka butuhkan sekarang bantuan, bukan ceramah. Ibarat orang lapar, berilah ia makan dulu. Perutnya kenyang barulah berikan nasehat.
Dari dua sikap ini, maaf jika tidak sepakat, tapi saya pun memilih sikap yang pertama, “Dosa apa? Ada maksiat apa di sana? Sampai-sampai Allah perintahkan air laut tumpah ke daratan?”
Sungguh saya bertanya demikian bukan lantaran saya orang suci atau merasa lebih baik dari yang sedang ditimpa musibah. Bukan. Hanya saja, menurut referensi yang saya baca, terutama yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, memang begitulah adanya. Musibah itu diundang oleh maksiat yang diperbuat.
Saya sendiri, jika mengalami kehilangan, sakit, kesialan dalam hidup, hal pertama yang saya lakukan adalah bertanya pada diri sendiri, “Astaghfirullah! Tadi habis bikin dosa apa?”
Hal serupa juga dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu ketika gempa melanda kota Madinah, “Wahai manusia? Apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (bermaksiat kepada Allah). Andaikata gempa ini kembali terjadi, aku takkan bersama kalian lagi!”
Kalian boleh tak terima jika saya yang bicara begitu, tapi berpikirlah berkali-kali ketika orang selevel Umar bin Khattab RA yang mengatakannya … Umar, sosok yang setan pun kabur terbirir-birit kalau bertemu dengannya.
BACA JUGA:Â Ini Keterangan Mendagri soal Berita Penjarahan yang Terjadi di Palu
Allah tuh lebih tahu apa yang pantas kita terima. Allah lebih tahu, mana umat-Nya yang pantas disayang, mana yang lebih baik dimusnahkan. Ini bumi Allah. Allah nggak ridho, yaa suka-suka Allah, kalau mau gantikan dengan generasi lain yang lebih taat dalam beribadah pada-Nya.
“Tapi banyak korban yang orang baik kok semasa hidupnya.”
Tentu sebagian kita sudah membaca kisah inspiratif dari seorang perempuan muda bernama Deby. Yang In Syaa Allah, mati dalam keadaan husnul khotimah. Muslimah yang lebih memilih tertimbun reruntuhan ketimbang harus ke luar dalam keadaan belum menutup aurat dengan sempurna. Ma Syaa Allah … Semoga Allah mengganjarmu surga, Dek. Aamiin.
Dan ada banyak kisah lainnya yang membuktikan banyak orang baik di Palu, kenapa mereka juga jadi korban?
Pertanyaannya, apa ada yang bisa jamin, di sana tidak sedang bermaksiat pada Allah? Ada yang bisa menjamin semua aktivitas warga Palu diridhoi Allah?
Silakan Anda cari sendiri, fakta apa saja yang ada di Palu sebelum bencana gempa dan tsunami itu datang menghadang.
Bagi orang-orang yang gemar melakukan kesyirikan, perzinahan hingga LGBT kemudian terkena musibah hingga tewas, mau disebut apa lagi kalau bukan azab, hukuman, siksaan?
Tapi bagi orang-orang sepeti Deby, dan mereka yang shalih-shalihah, kalau harus wafat, luka-luka karena musibah, jelas namanya ujian. Atau minimal “kebagian” getah azab dari para pelaku maksiat. Ngapain memilih untuk tetap tinggal bersama para pelaku maksiat?
Itu kenapa, kita diajarkan untuk HIJRAH. Ingat kisah Nabi Nuh Alayhissalam, Nabi Luth Alayhissalam??? Sebelum banjir besar menyapu bersih umat Nabi Nuh. Sebelum hujan batu menimpa kaum Nabi Luth, Allah suruh para pengikut nabi-nabi itu pergi dulu dari negeri yang akan ditimpakan azab! Supaya apa, supaya yang beriman, selamat! Nggak kena azabnya.
Saya teringat bait lagu Ebiet G. Ade …
“Tuhan pasti telah memperhitungkan …
Amal dan dosa yang kita perbuat ….”
Iya, setuju.
Allah lebih tahu semuanya.
Lebih tahu kapan kita diberi waktu untuk sadar sendiri. Kapan kita bebal sehingga cuma bisa disadarin dengan sesuatu yang keras, mengejutkan, menyedihkan. Tujuannya apa? Semata-mata supaya kita taubat, kembali di jalan yang Allah ridhoi.
Cukuplah semua ini jadi pengingat berarti buat kita untuk menjauhi segala sesuatu yang Dia larang. Dia nggak suka!
Perbanyaklah istighfar duhai diri …
Agar dosa kita segera gugur dengan istighfar, sebelum hanya bisa ditebus dengan luka dan airmata, yakni melalui musibah.
Inilah yang membedakan cara orang yang beriman; memiliki iman, memiliki keyakinan dengan orang yang mengaku beragama tapi tidak selalu mengaitkan keimanannya dalam kehidupannya.
BACA JUGA:Â Nenek Moyang Masyarakat Palu sudah Kenal Likuifaksi, Istilahnya Nalodo
Kalau kata Aa Gym di ILC Rabu lalu … penjelasan-penjelasan ilmiah, sesar ini dan itu … Hanya syare’atnya saja. Namun pada hakikatnya semua peristiwa alam hanya menjalankan perintah dari Rabb-nya.
Jangan merasa tanah yang kita pijaki sekarang, aman dari marabahaya. Sebab boleh jadi, bencana-bencana itu hanya tertahan, tertunda karena sujud dan doa-doanya orang shalih yang masih hidup di sekitar kita.
Jika untuk ditetapkannya status #BencanaNasional harus memenuhi berbagai syarat, maka cukuplah kita semua #TaubatNasional untuk meredam semua malapetaka di negeri ini. Wallahu A’lam Bisshowab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.