Oleh: Sa’adah Tri Hayatun
Mahasiswa STEI SEBI Depok
saadahtrihayatun39@gmail.com
KETIKA ada yang melukai kita secara fisik ataupun psikis, apa yang akan kita lakukan? Akankah kita balas dendam? Ataukah kita tetap berbuat baik tetapi membenci perlakuan jahatnya pada kita? Apakah kita akan terus mengungkit kesalahannya dengan emosi?
Berdasarkan pertanyaan di atas, penulis teringat bahwa Nabi Muhammad SAW pun membenci atau memusuhi seseorang bukan karena orangnya, tapi karena tidakannya yang jahat atau zalim. Lantas bagaimana kita membenci perbutannya tetapi tidak membenci orangnya?
Caranya adalah memaafkan. Dengan memaafkan akan mengubah masa depan. Bukan hanya masa depan orang yang kita maafkan, tapi juga masa depan kita. Mengapa bisa seperti itu?
BACA JUGA: Ilmu Berpengaruh Besar dalam Membentengi Maksiat
Memang benar adanya, ketika kita masih terluka oleh seseorang, rasanya sangat sulit untuk memaafkan seluruh kesalahannya. Justru luka di dalam hati tidak akan terobati jika kita tidak mau memaafkannya. Oleh sebab itu, ketika kita memiliki rasa rela untuk memaafkan kesalahan orang lain, luka di hati kita perlahan akan pulih sehingga kita terbebas dari rasa sakit dan kebencian.
Apakah hidup akan tenang jika kita terus menerus dipenuhi dengan dendam? Tentu tidak. Siapakah yang rugi? Diri kita sendiri. Menerima perbuatan jahat orang lain memang tidak mudah, karena itu benci pada perbuatannya dan bukan orangnya.
Maksud dari benci pada perbuatannya dan bukan orangnya adalah ketika kita menyadari bahwa perbuatan itu salah tetapi, kita tidak ingin melihat orang itu menerima risiko dari perbuatannya.
Sebagaimana ketika para musuh melakukan penyerangan fisik terhadap Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, Nabi menghadapinya dengan tetap menjunjug tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan tidak merendahkannya sama sekali.
BACA JUGA: Rasulullah Amat Benci dengan Jenis Orang Ini
Dalam doa yang dipanjatkan dalam shalat malam (tahajud) Nabi juga menyebutkan bahwa semua umat manusia adalah bersaudara.
“Ya Allah sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan yang tiada tuhan selain Engkau, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya semua hamba bersaudara.” (Huwaidi, Muwathinuun laa Dzimmiyyun, 1999: 84-85).
Sikap Nabi terhadap musuh-musuhnya yang tidak pernah merendahkan merupakan bagian dari akhlaknya yang sangat terpuji sebagaimana sabda-Nya yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad ditutus untuk menyempurnakan akhlak (Innamaa bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaq). Sikap Nabi demikian diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran supaya diteladani umatnya.
Pada dasarnya manusia tidak akan melakukan perbuatan yang salah dengan sengaja. Jika mereka melakukannya, pasti ada alasan tersendiri dan semua itu berdasarkan dari luka hati. Jika itu terjadi pada diri kita, maka hendaknya kita mengasihi mereka (orang yang jahat atau zalim) seperti mengasihi diri kita sendiri dan memperlakukan mereka secara kasar dengan menidta martabatnya sebagai manusia.
Karena sejatinya pembalasan adalah hak Allah SWT dan tugas kita adalah memaafkan. Jika kita merasa dapat menikmati kebencian dan kepuasan ketika melihat mereka menderita, sadarkah kita bahwa kita sudah menjadi orang yang jahat? Bersukacita di balik penderitaan orang. []