TENTANG ber-tawasul dengan Asma Al-Husna, Allah SWT berfirman dalam Surah Thaha (20) ayat 8:
اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى
Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaul husna (nama-nama yang baik)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Ia, dengan argumen bahwa hanya milik-Nya-lah segala al-asma al-husna, nama-nama yang Mahaindah dan Mahasempurna.
Setiap nama tersebut mengandung sifat yang sempurna pula. Misalnya Al-Khalik yang berarti Allah yang menciptakan, Al-Alim yang berarti Allah mengetahui segala sesuatu, Allah Al-Khabir yang berarti Allah mengetahui segala sesuatu dengan detail, Ar-Razzaq yang berarti Allah lah yang memberikan rezeki kepada seluruh alam semesta, Al-Muhyi dan Al-Mumit yang berarti hanya Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan, Al-Mutakabbir yang berarti hanya Allah-lah yang berhak menyombongkan diri, Al-Ali yang berarti Allah Mahatinggi, Al-Akbar yang berarti Allah Mahabesar, Al-Adhim yang berarti Allah Mahaagung, dan seterusnya.
BACA JUGA: Asmaulhusna dan Sains
Al-Asma Al-Husna adalah nama-nama yang Mahaindah dan Mahasempurna yang hanya dimiliki oleh Allah. Para ulama berusaha menyebutkan beberapa unsur keindahan dan kesempurnaan tersebut, seperti pada poin-poin berikut:
Pertama, setiap nama Allah menunjukkan pujian, dan memanggil-Nya dengannya adalah bentuk pujian terhadap-Nya.
Kedua, setiap nama Allah bukan hanya sekadar nama melainkan dia mengandung makna hakiki dan sempurna. Ketika Allah menyebut dirinya sebagai Al-Ghafur itu bukanlah sekadar sebutan atau panggilan saja, melainkan juga pernyataan bahwa Allah-lah yang suka mengampuni dosa para hamba.
Ketika Allah menyebut dirinya sebagai Al-Alim itu bukanlah sekadar sebutan atau panggilan saja melainkan juga pernyataan bahwa Allah-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu tanpa terkecuali dengan ilmunya yang sempurna.
Setiap sifat hakiki yang terkandung dalam setiap nama Allah adalah sifat yang sempurna, benar-benar berada pada puncak kesempurnaan mutlak. Oleh karenanya, kita menerjemahkan nama-nama tersebut dengan awalan “Maha”.
Hal ini berbeda dengan manusia, yang seringkali namanya menyelisihi sifat aslinya. Seorang lelaki yang bernama Saleh, belum tentu merupakan seorang yang Saleh. Seorang wanita yang bernama Syakira, belum tentu merupakan seorang yang bersyukur. Seandainya pun seseorang yang bernama Saleh itu benar-benar saleh, manusia tetaplah manusia pasti memiliki kekurangan dan kesalahan. Sifat-sifat baik yang ada pada manusia pastilah disertai kekurangan atau cacat tertentu. Berbeda dengan Allah yang Mahasempurna.
Ketiga, nama-nama Allah adalah sarana untuk berdoa kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raf (7) ayat 180:
وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۖ
Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Bahkan di antara sebab dikabulkannya doa adalah ber-tawasul dengan nama-nama Allah sebelum berdoa. Ber-tawasul dengan nama-nama Allah adalah dengan menyebut nama Allah yang sesuai dengan permintaan kita dalam doa.
Misalnya, ketika kita meminta diberikan rahmat maka sebutlah ya Rahmaan ya Rahiim; ketika meminta rezeki sebutlah ya Razzaaq ya Wahhaab, ya Mu’thii; ketika meminta pengampunan, maaf, dan tobat, sebutlah ya Ghaffaar Ya Ghafuur Ya Tawwab Ya Halim.
Ini juga merupakan motivasi bagi kita untuk mengetahui makna Al-Asma Al-Husna sehingga kita bisa memaksimalkan tawasul dengannya ketika berdoa.
BACA JUGA: Takdir-Nya dalam Liputan Asmaul Husna
Keempat, pengetahuan tentang nama-nama-Nya akan membuat seseorang semakin cinta kepada-Nya.
Setelah Allah menyatakan bahwa Al-Quran adalah pembawa rahmat dan kebahagiaan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan juga mereka yang beriman kepada beliau, bukanlah pembawa kesengsaraan dan penderitaan, Allah kemudian menyebutkan kisah yang dapat lebih menghibur dan meyakinkan beliau, yaitu kisah Nabi Musa a.s.
Kisah seorang nabi mulia yang menggambarkan bahwa bagaimanapun kesulitan yang mengadang seorang Mukmin, kesudahan yang indah nan membahagiakan pastilah akan ia dapatkan. Dan sebaliknya, bagaimanapun kenikmatan duniawi yang didapatkan para kafir nan pembangkang, kesudahan yang buruk dan menyengsarakan pasti akan ia rasakan.[]
SUMBER: PUSAT STUDI QURAN