Oleh: Diah Arminingsih
Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, E-mail: dyah.ponty@gmail.com
SIAPA yang saat ini tidak menjadi konsumen dari bisnis online? Bahkan, siapa yang saat ini tidak menjadi pelaku bisnis online? Semakin berkembangnya teknologi maka semakin banyak pula hadirnya pembisnis online, baik kaum muda maupun tua, baik masyarakat yang ekonominya menengah kebawah maupun yang sudah kaya, baik pelajar atau mahasiswa maupun ibu rumah tangga, bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak yang notabene sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai dan lain sebagainya, baik yang niat berbisnis online sebagai sumber utama penghasilan, penghasilan tambahan bahkan hanya sekedar passion.
Menurut ketua umum Indonesian E-Commerce Association (idEA) dalam www. Tekno.liputan6.com Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan e-Commerce tertinggi di dunia. Hal ini dalam kurun waktu 10 tahun meningkat sekitar 17%, berdasarkan sensus ekonomi tahun 2016 yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa perdagangan berbasis online di Indonesia hingga saat ini mencapai 26,2 juta. Sehingga pantas saja dalam riset global dari Bloomberg menyatakan bahwa pada tahun 2020 lebih dari separuh penduduk Indonesia akan terlibat pada aktivitas e-Commerce, bahkan menurut McKinsey peralihan bisnis ke ranah digital akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025.
Kondisi seperti ini seharusnya dapat ditangkap peluangnya oleh siapa saja. Akan tetapi sebagai pelaku bisnis online terutama bagi yang muslim, ketika ia berkecimpung di dunia bisnis online jangan sampai meng-amin-kan paradigma yang berkembang di masyarakat yaitu bisnis sama dengan egoisme dan tamak harta. Padahal belum bisa dipastikan juga orang-orang yang berada diluar bidang bisnis lebih etis dan tidak egois dari pada masyarakat bisnis. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bisnis akan rugi apabila menuruti tuntutan-tuntutan norma yang ada. Hal ini menjadi pekerjaan besar bagi para pembisnis muslim untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat luas.
Hakikat Bisnis dalam Islam
Pada hakikatnya, bisnis sangat erat kaitannya dengan agama Islam, sedangkan Islam sangat melarang manusia untuk bersifat egois dan tamak harta. Norma-norma serta etika dalam bisnis merupakan unsur dalam usaha bisnis itu sendiri, dimana etika merupakan bagian integral dari bisnis yang dijalankan secara profesional. Sehingga bisnis tanpa etika justru tidak akan berhasil.
Adapun tujuan utama dari bisnis Islam adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara berkeadilan. Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan universal, yaitu keadilan bagi semua stakeholder dalam sistem ekonomi. Melalui harga yang wajar keadilan ini dapat diwujudkan. Sedangkan harga yang adil adalah harga yang mencerminkan interaksi harmonis dari keseluruhan unsur yang ada di pasar. Pasar rentan terhadap distorsi dari para pelaku ekonomi. Karenanya diperlukan norma untuk menjadi koridor. Islam adalah satu-satu nya sumber etik yang sempurna. Sehingga nilai-nilai yang diderivasi dari ajaran Islam bersifat permanen dan universal.
Dalam ilmu ekonomi, perdagangan secara konvensional diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Mereka terlibat dalam aktivitas perdagangan dapat menentukan keuntungan maupun kerugian dari kegiatan tukar-menukar secara bebas. Berbeda dengan prinsip dasar perdagangan menurut Islam, prinsip dasar perdagangan perspektif Islam adalah adanya unsur kebebasan dalam melakukan transaksi tukar-menukar, akan tetapi kegiatan tersebut tetap disertai dengan harapan diperolehnya keridhaan Allah swt dan melarang terjadinya pemaksaan. Oleh karena itu, agar diperoleh suatu keharmonisan dalam sistem perdagangan dalam menuju keridhoan Allah maka diperlukan perdagangan yang beradab.
Ajaran Islam mencakup dua dimensi pokok, yakni dimensi vertikal dan horizontal. Keduanya memiliki arti ibadah, berupa ketaatan seseorang hamba kepada Sang Maha Pencipta. Kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat vertikal adalah taqwa, sedangkan kualitas tertinggi dari ketaatan yang bersifat horizontal adalah berlaku adil. Kejujuran merupakan salah satu tangga untuk mencapai tingkat adil yang dimaksud. Bisnis yang dilakukan tanpa ada nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah maka akan sulit mendatangkan kejujuran, keadilan, dan kebaikan bersama. Sebagaimana tujuan Allah dalam menetapkan syari’at-syari’at Islam berkisar pada pemeliharaan dari lima dasar kebutuhan primer manusia, yaitu: agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, segala sesuatu yang mencakup pemeliharaan kelima dasar tersebut adalah mashlahat. Sehingga apabila dimensi vertikal tidak disertakan dalam semua hubungan horizontal maka keculasan, penipuan, pemerasan oleh satu pihak terhadap pihak lain akan terjadi.
Beradab dalam Berbisnis
Manusia harus bekerja bukan hanya untuk meraih sukses di dunia namun juga untuk kesuksesan akhirat. Semua kerja seseorang akan mengalami efek demikian besar pada diri seseorang, baik efek positif maupun efek negatif. Manusia harus bertanggug jawab dan harus memikul semua konsekuensi aksi dan transaksinya selama di dunia ini pada saatnya nanti di Akhirat. Dengan demikian konsep al-Qur’an tentang hakikat bisnis serta yang disebut beruntung dan rugi hendaknya dilihat dari seluruh perjalanan hidup manusia. Tidak ada satu bisnis pun yang akan di anggap berhasil jika membawa sebanyak apapun keuntungan dalam waktu tertentu, namun pada ujungnya mengalami kebangkrutan atau kerugian yang diderita melampaui keuntungan yang dicapai. Sebuah bisnis akan dianggap berhasil dan menguntungkan jika apa yang didapati oleh seorang pelaku bisnis melebihi ongkos yang digunakan ataupun melampaui batas kerugian yang dialami. Skala perhitungan semacam bisnis ini akan ditentukan pula di akhirat.
Sebagai gambaran yang benar tentang etika bisnis dalam Islam, al-Qur’an telah memberikan petunjuk yang termaktub dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 261, 265 dan 276, Al-Qur’an surah al-Hadiid (57) ayat 11 dan 18, Al-Qur’an surah Faathir (35) ayat 29, Al-Qur’an surah Ar-Rum (30) ayat 39, Al-Qur’an surah Saba’ (4) ayat 3, serta Al-Qur’an surah Mujadilah (58) ayat 6. Sehingga dalam pandangan al-Qur’an bisnis yang menguntungkan mengandung tiga elemen dasar, yaitu:
1. Mengetahui investasi yang paling baik
Menurut al-Qur’an tujuan dari semua aktivitas manusia hendaknya diniatkan untuk menuntut keridhaan Allah, karena setiap aktivitas yang mencari keridhaan Allah ini adalah merupakan keuntungan terbesar dari seluruh kebaikan. Dengan demikian maka investasi milik dan kekayaan seseorang itu dalam hal-hal yang benar tidak mungkin untuk dilewatkan penekanannya. Artinya, investasi terbaik itu adalah jika ia ditujukan untuk mencapai ridha Allah.
Karena kekayaan Allah itu adalah tanpa batas dan tidak pernah habis. Maka merupakan pilihan terbaik untuk mencari dan memperoleh pahala yang Allah janjikan kemudian meraih kesempatan-kesempatan yang ada. Di dalam al-Qur’an, rahmat Allah digambarkan sebagai sesuatu yang lebih baik dari seluruh kenikmatan yang ada di dunia. Jika mardhatillah menempati prioritas paling puncak, tentu saja investasi untuk mencapai itu hendaknya menjadi investasi terbaik dari segala macam investasi.
Investasi itu seluruhnya tergantung pada kondisi dan keikhlasan orang yang melakukan. Jika ia melakukannya dengan baik dan penuh ikhlas maka pahala dari investasi itu akan dilipatgandakan dengan kelipatan yang hanya Allah yang mengetahui. Mungkin pengorbanan mereka itu berupa jiwa dan harta mereka, ataupun hanya harta saja. Harta kekayaan yang dipergunakan di jalan Allah akan Allah berkati dan akan Allah tambah dan lipat gandakan. Penggunaan belanja yang benar di jalan Allah inilah di anggap oleh al-Qur’an sebagai bisnis yang tidak pernah akan gagal. Selain itu, bisnis seperti ini akan membawa hasil yang demikian melimpah dan berlipat ganda.
2. Keputusan yang sehat
Agar sebuah bisnis sukses dan menghasilkan keuntungan, hendaknya bisnis ini didasarkan atas keputusan yang sehat, bijaksana dan hati-hati. Hasil yang akan dicapai dengan pengambilan keputusan yang sehat dan bijak ini akan nyata, tahan lama dan bukan hanya merupakan bayangan-bayangan dan sesuatu yang tidak kekal. Menurut al-Qur’an, bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis yang keuntungannya bukan hanya terbatas untuk kehidupan di dunia, namun juga selain keuntungan jangka pendek yang didapat di dunia, keuntungan itu bisa dinikmati di akhirat dengan keuntungan yang berlipat ganda.
Usaha untuk mencari keuntungan yang demikian banyak dengan cara-cara bisnis yang curang akhirnya akan menghasilkan sesuatu yang sangat tidak baik dan menimbulkan sesuatu kemelaratan, yang mungkin juga terjadi di dunia ini. Dengan demikian, bisnis yang menguntungkan adalah bukan hanya dengan melakukan ukuran yang benar dan timbangan yang tepat, namun juga dengan menghindari segala bentuk dan praktek-praktek kecurangan yang kotor dan korupsi.
Al-Qur’an menekankan bahwa sebuah bisnis yang kecil namun melalui jalan yang halal itu jauh lebih baik dari pada bisnis besar yang dilakukan dengan cara-cara yang haram. Selain itu, nilai jual yang terbaik adalah yang memberikan garansi terhindarnya seseorang dari neraka dan memberi jaminan masuk surga. Nilai jual yang sangat menguntungkan ini hanya bisa dicapai dengan cara memiliki keimanan kepada Allah dan Rasul Nya, dengan selalu melakukan jihad dan perjuangan di jalan Allah. Baik dengan jiwa maupun raga.
3. Perilaku yang benar
Perilaku yang benar mengandung perilaku yang baik, hal ini sangat dihargai dan dianggap sebagai suatu investasi bisnis yang benar-benar menguntungkan. Karena hal itu akan menjamin adanya kedamaian di dunia dan juga di akhirat. Panduan tentang perilaku seseorang diukur dan dinilai mengikuti standar serta diselaraskan dengan perilaku Rasulullah, yaitu “SIFAT”; SIddiq (jujur), Fathonah (cerdas), Amanah (dipercaya), Tabligh (menyampaikan, dalam hal ini tabligh bisa dimaknai dengan profesional). Selain “SIFAT” ini juga rasulullah mengajarkan ummatnya untuk berlaku adil serta moderat dalam perilaku mereka terhadap Allah, begitu pula terhadap sesama manusia.
Menjaga dan menetapi hal tersebut serta perintah-perintah lain adalah tuntunan untuk sebuah perilaku yang baik. Lebih dari itu bahwa kebenaran selalu erat hubungannya dengan kebajikan, selalu mengharuskan seseorang untuk memiliki pandangan masa depan yang tajam untuk mengatur dan menyimpan sesuatu guna menghadapi masa-masa yang menyulitkan. Oleh sebab itu dalam bisnis, seorang muslim harus selalu ingat terhadap Allah, terhadap ibadah ritualnya dan kewajibannya untuk membayar zakat, sampai pada aktivitasnya yang demikian sibuk dan cepat. Dia harus menghentikan sejenak aktivitasnya untuk memenuhi panggilan shalat jum’at dan melakukan aktivitas bisnisnya setelah shalat usai.
Sehingga pada dasarnya bisnis sudah ada panduan dan juga sudah dicontohkan sejak zaman Nabi Muhammad saw secara komprehensif. Dengan demikian semakin berkembang teknologi serta semakin menjamurnya bisnis online di Indonesia, harapannya tidak terjadi degradasi hakikat bisnis dalam diri pelaku bisnis online. Pengingatan juga penguatan dalam hal beradab ketika berbisnis perlu diangkat dipermukaan, sehingga dengan demikian pelaku bisnis akan meraih keberuntungan dunia akhirat. Wallahua’lam Bissawab. []