SATU hal yang harus menjadi fokus perhatian seorang penuntut ilmu, yaitu soal kebagusan akhlak.
Sejak dulu para ulama sangat memperhatikan hal ini, bahkan seluruh dakwah Rasulullah juga bermuara pada pembentukan akhlak dan pengembangan nilai estetika. Makna ini tersurat dalam sabda beliau shallallahu alaihi wasallam yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak,”(HR. Ahmad).
Beliau juga bersabda :
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِىءِ (رواه الترمذي ).
“Seorang mukmin bukanlah seorang pengumpat, pengutuk, yang berkata keji dan berkata kotor.” (HR. Tirmudzi ).
Dalam hadits yang lain Allah mengolongkan manusia yang tidak berakhlak dalam golongan manusia yang paling jelek di hadapan-Nya
”Sesungguhnya manusia paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain karena menghindari kejelekannya,”(HR. Bukhari).
Sebaliknya orang paling dicintai oleh Rasulullah adalah yang paling orang yang paling baik akhlaknya. Beliau bersabda: “Orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya,”(HR. At-Tirmidzi).
Logikanya, bila fiqih memberi batasan legalitas, maka akhlak dan moralitas memberi bobot yang luar biasa pada seni keindahan dalam hidup. Tak hanya sekedar batasan wajib yang sah dan legal, tapi ada pesona akhlak dan sunnah yang mempercantik dan membuatnya lebih berwarna. Seperti itulah ajaran agama yang hanif ini.
Lebih jauh Imam Ibnul Mubaarak -rahimahullah- mengisyaratkan urgensi adab dalam ucapannya yang masyhur,
“طلبت العلم ثلاثين سنة و طلبت العلم عشرين سنة. وكانوا يطلبون اﻷدب قبل العلم”
[ غاية النهاية في طبقات القراء (1/198) ]
“Aku belajar adab selama tiga puluh tahun dan belajar ilmu selama dua puluh tahun. Dahulu, orang-orang belajar adab dulu sebelum belajar ilmu.”
[Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra’ (1/ 198)]
Sekali lagi akhlak yang baik adalah perhiasan orang-orang berilmu.
Wallahu a’lam. []