TERKADANG kita fasil berbicara tapi, gagap beramal. Maka bakda ima dan amal shalih, hidup saling mendoa dan mengingatkan itu jelita. Allah menyayangi orang-orang yang menginsyafi kadar dirinya, tak bicara dan berperilaku melampaui ilmu dan amal yang dimampuinya. Para pengenal Allah menyesali ketaksempurnaan amalnya. Para tertipu membanggakan sempurnanya bahasan amal di dunia.
Di dunia, tanda diterimanya amal adalah emngantar pada ketaatan yang lebih besar, bukan menghasilkan kenikmatan yang lebih besar. Kebahagian adalah asupan termanis bagi iman. Berjuang untuk beramal lebih banyak dibanding yang terlihat, akan membuat diri lebih indha daripada sekedar mengharap pujian.
Keinginan menampilkan diri pada insan itu melelahkan. Menunaikan amal dengan disaksikan Allah itu melegakan. Keterbatasan bisa menghadang amal seorang mukmin. Tetapi tidak niatnya. Tak henti ia perbaiki; manis dan harum di sisi Illahi. Diantara mata air kekuatan beramal bagi sang mukmin adalah Al-Qur’an. Ia dihafal jadi kemuliaan bagi akal; ia diamal jadi kebaikan yang dikenal;ia direnungi jadi keteguhan bagi hati.
Riya’ pengugur amal itu bertanda; bersemangat saat dilihat, bermalas jika tak terawas, dan mencinta puji di tiap sisi diri. Tiap orang akan mati di atas apa yang dia biasakan berhidup padanya. Maka sekecil apa pun kebaikan sangat berharga untuk diistiqamahkan. Rasa, kata, dan laku yang ikhlas bagi susu; nikmat didengar dan dilihat, mudah dicerna menjadi energi jiwa, menggerakkan amal shalih sesama. []
Sumber: Menyimak Kicaau Merajut Makna/Salim A. Fillah/Pro-U Media