Oleh: Tasaro Gk
(Penulis, Pengasuh Kampoeng Boekoe)
“Zaman Nabi dulu, ada teroris gak, sih? Atau at least yang sejenis?”
Segera setelah tiga gereja di Surabaya dibom hari ini, bermacam-macam pesan masuk ke nomor pribadi saya. Termasuk pesan sedih seorang kawan lama. Saya menangkap getir pada pertanyaannya. Setengah putus asa. Capek. Terulang lagi dan lagi. Muslim, siapa pun dia, akan berada di posisi yang sama setiap kejadian yang mengatasnamakan Islam kembali terjadi. Posisi sebagai orang yang mesti siap ditanya.
“Agamamu apa, sih, isinya?”
“Kamu bilang agamamu mengajarkan kedamaian?”
“Tidak semua Muslim itu teroris. Tapi mengapa semua teroris itu Muslim?”
Jangankan dikau, Bro. Saya pun lemas pagi ini. Sembari membersihkan rumah, mengatur ulang ruang tamu, menyiapkan ruang bermain untuk anak-anak, menyapu-nyapu, mengendus debu di udara, lalu breaking news menghentikan saya.
Bom lagi. Gereja lagi. Korban tak bersalah lagi.
Saya marah sekali pagi ini. Marah yang membuat saya terdiam. Napas saya tak karuan.
Jika Anda orang yang percaya bahwa dialog adalah jembatan untuk mempertemukan perbedaan, peristiwa semacam ini akan menghancurkan setiap rangka dan bata yang Anda susun untuk membangun jembatan itu. Hampir-hampir membuat Anda harus memulainya dari nol.
Saya perlu waktu beberapa lama untuk kemudian meyakini, sejarah belum selesai ditulis. Maka, setiap Muslim mesti menyadari perannya sebagai seorang humas bagi agama yang diyakininya. Sampai akhir hidupnya. Sudah, usaha saja.
Maka, ketika pesan-pesan penuh amarah, satir, rasa heran, itu masuk ke nomor pribadi saya, saya lalu menjawabnya,”Baca FB, ya. Saya akan menuliskan sesuatu. Berusaha menjawabnya.”
Maka, menjawab pertanyaan kawan lama tadi, saya menulis ini. Jika terorisme dipahami sebagai sebuah gerakan kebencian yang membawa-bawa agama untuk menebarkan ketakutan, sepanjang pembacaan saya itu tak terjadi pada masa Sang Nabi. Bahkan tidak pada masa Abu Bakar, bahkan tidak pada Umar dan Utsman ra.
Benih-benih tafsir yang menyulut gerakan mengafirkan kelompok Islam lain, lahir setelah Perang Siffin. Ketika sebagian pasukan Ali ra. yang keras kepala memisahkan diri dari pasukan Sang Khalifah. Mereka mengafirkan Ali karena mau berdamai dengan Muawiyyah. Padahal Ali menurunkan pedang juga oleh bujukan mereka, ketika Amr bin Ash, panglima Mu’awiyyah menyuruh pasukannya memancangkan mushaf Al Qur’an di ujung tombak.
Belakangan orang-orang itu dinamai Khawarij. Di tangan mereka Khalifah Ali menemui kesyahidan. Wafat setelah disabet pedang beracun ketika hendak shalat subuh di masjid.
“Dikau sudah membaca buku Generasi Penggema Hujan?” tanya saya kepada kawan lama saya itu,”… di sana ada jawaban pertanyaanmu.”
“Sudah, tapi lupa lagi.”
Baiklah, Kawan, aku akan menceritakanya sedikit, untukmu, penggalan novel yang kutulis dengan dada sesak itu.
***
Nahrawan tengah meradang. Mereka yang tak berhubungan dengan kelompok pencaci Khalifah mulai mengungsi. Menjauh dari pusat perkumpulan pemarah yang mengafirkan semua orang itu. Memisahkan diri dari pasukan Khalifah, orang-orang yang berpaling itu membawa puluhan ribu orang yang bersepakat untuk membentuk kelompok sendiri.
Namun, beberapa hari ke belakang, segala upaya perdamaian Sang Khalifah menyusutkan jumlah para penentang Kufah itu berkali-kali lipat. Dikurangi mereka yang menyeberang ke barisan Ali, atau menyebar ke Bashrah, Kufah, Madain, atau ke manapun asal tak terjebak dalam perseteruan dua kubu itu.
Mereka yang tersisa, paling banyak tinggal tiga ribuan orang saja.
“Bagaimana ini bisa terjadi?”
Abdullah bin Wahhab, sang pemimpin kelompok yang memisahkan diri itu, berdiri di hadapan sisa pengikutnya. Di tanah lapang yang membentang, hingga lautan manusia menelan sosoknya. Wajahnya memerah, matanya menyala oleh kemarahan. “Apa yang membuat orang-orang yang tadinya lantang hendak menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar kini mundur dari garis depan! Apa yang terjadi!”
“Sebagian dari mereka kebingungan, Syaikh!” kata seseorang yang duduk di barisan paling depan,”mereka berkata bahwa mereka bingung untuk apa kita melawan Ali? Mereka memilih menjauh dari peperangan dan melihat perkembangan. Apakah mereka akan melawan Ali atau justru bergabung dengan mereka.”
“Omongan kafir!”
Kemarahan Abdullah bin Wahhab kian menjadi-jadi. “Mundur dari pertempuran adalah dosa besar! Para pendosa adalah orang-orang kafir!”
Sorak-sorai menyambut teriakan Abdullah bin Wahhab. “Siapa yang masih ragu bahwa apa yang sedang kita bela dengan darah kita adalah Islam yang murni. Mereka yang berada di luar kita adalah orang-orang menyimpang. Kufur! Bid’ah!”
Sorak-sorai bersahutan. Takbir pun kedengaran tanpa henti.
“Membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim!”
Sekarang udara hanya terisi suara Abdullah bin Wahhab. “Apakah kematian Abdullah bin Khabbab belum cukup menjadi bukti! Kita tidak akan mundur meski sejengkal! Siapa pun dia, jika nyata-nyata kufur kepada Allah, akan kita habisi!”
Harqus bin Zuhair, lelaki yang memaki Ali, tak kalah gusar dibanding Abdullah bin Wahhab. Dia pun maju dan meminta para pendukungnya mendengarkan apa yang hendak dia katakan.
“Apakah kalian takut hanya karena jumlah pasukan Ali lebih besar!”
“Tidak!” Teriak orang-orang.
“Kami tidak takut mati!”
“Ali telah kufur! Pemimpin setelah Rasulullah adalah orang-orang kufur!”
Harqus melantangkan suaranya,”Kalian yang mengaku berdarah Tamimi! Ketahuilah bahwa dalam diri kalian mengalir darah pahlawan sejati! Satu diri kalian sebanding dengan kekuatan seratus orang bid’ah! Tidak ada yang perlu kalian takuti! Kalaupun kalian mati, kesyahidan telah menanti!”
Sorak-sorai ribuan orang seperti gelombang pasang. Bersahut-sahutan.
“Ali meminta kita bergabung dengan pasukannya untuk melawan Mu’awiyah setelah sebelumnya dia menerima Tahkim! Siapa pun yang menerima perundingan adalah orang-orang kafir!”
Teriakan lantang Harqus menular ke tengah orang-orang. Mereka yang berdiri di barisan belakang, menerima pengulangan omongan Harqus dari kawan-kawan di depannya.
“Kecuali Ali mau bertobat, baru kita akan mempertimbangkan ajakannya. Jika tidak! Kita akan membuatnya patuh kepada aturan Allah!”
Pedang-pedang teracung ke udara. Kemarahan menyatu dengan air mata.
Pertumpahan darah tak lagi bisa dihindari. []