Oleh: Tasaro Gk
(Penulis, Pengasuh Kampoeng Boekoe)
OH, Kawan, kusampaikankan kepadamu cerita sekelompok orang yang mengafirkan banyak orang. Mereka menafsirkan Qur’an dengan otak mereka sedangkan ruhnya tak sampai menyentuh jiwa mereka. Aku menangis ketika menuliskan umat ini bertempur di Perang Siffin. Menggemakan takbir yang sama namun membisikkan niat yang berbeda.
Tapi tak kuhindari agar kita belajar sesuatu dari masa lalu.
***
Di sekeliling mereka, muncul pemandangan yang sama. Pasukan Khalifah Ali terus mendesak musuh. Sang Khalifah yang berperang di barisan tengah memberi semangat pasukannya dengan gagah. Dari atas kudanya, Ali terus meneriaki pasukannya tanpa henti. “Hancurkan Kebatilan! Hancurkan kebatilan!”
Gelombang pasukan Khalifah Ali mengair bah. Menghantam pasukan Mu’awiyah. Membuncahkan perasaan datangnya pertolongan Tuhan.
Khalifah Ali menyaksikan sendiri, betapa kesatuan umat telah di depan mata. Seluruh tanah para Muslim telah berba’iat kepadanya, kecuali Suriah. Semua pemimpin telah mengakui kekhalifahannya kecuali Mu’awiyah. Ujung perang ini menjadi penentu. Sebentar lagi, ketika pasukan Mu’awiyah telah menyerah, maka persoalan umat berakhir sudah.
“Hancurkan kebatilan!”
Ali terus menyemangati pasukannya.
Di seberang, Mu’awiyah benar-benar merasa gundah. Duduk di atas kudanya, dia kehabisan akal harus melakukan apa. Pasukannya, yang sehari sebelumnya bertempur bagai harimau kelaparan, hari ini kehabisan tenaga. Kehilangan keinginan untuk menang. Terus terdesak, bergelimpangan, lari dari pertempuran.
“Kembali! Lawan musuh! Hendak ke mana kalian!”
Mu’awiyah kian panik. Dia melihat ke kanan kiri, mencari seseorang yang bisa dia andalkan. “Amr! Lakukan sesuatu! Amr!”
Amr bin Ash tak kalah gelisah. Dia bersitatap dengan Mu’awiyah sedangkan hatinya sungguh telah bengkah. Dia menggeleng pelan, pikiranya berusaha mencari jalan ke luar.
“Lakukan sesuatu!”
Mu’awiyah meneriaki Amr sementara orang-orang di sekelilingnya berlarian tak karuan. “Lakukan sesuatu atau kita mati!”
Amr masih termangu di atas kudanya. Sampai kemudian matanya berbinar oleh sesuatu yang dia yakini bisa menjadi jalan keluar.
Sementara keseluruhan pertempuran sungguh telah terlihat hasil akhirnya. Hampir hampir tak ada perlawanan dari pasukan Mu’awiyah, kecuali sedikit. Sebagian besar dari mereka telah karut-marut. Berlarian tak menentu.
Khalifah Ali duduk tegak di atas tunggangannya. Wajahnya telah cerah oleh harapan akan kebaikan masa depan. Bahwa, tak akan lagi ada pertentangan. Umat di bawah kepemimpinannya bisa melanjutkan apa yang tertunda sepanjang mula kekhalifahan yang dia pimpin. Ketika begitu banyak energi yang habis untuk berperang.
Ketika harapan itu telah begitu dekat dan segera terwujud, dari arah berlawanan, sekelompok pasukan membentuk barisan yang tak lazim. Tombak-tombak terangkat ke udara, namun tak ada lembing tajam di ujungnya.
Ratusan orang, mengangkat tombak, yang di ujungnya tertancap mushaf Al Qur’an.
Seperti ada keheningan di benak Ali. Itu sebuah ajakan perdamaian, tapi bukan sebuah pernyataan kemenyerahan. Mereka sedang bersiasat.
“Lanjutkan tugas kalian!” Ali benar-benar khawatir siasat lawan akan mementahkan kemenangan yang sudah berada di hadapan,”… Demi Allah, mereka mengangkat mushaf hanya untuk menipu kalian!”
Ketidakjelasan melanda pasukan. Kehadiran ratusan pasukan Mu’awiyah yang mengangkat mushaf di ujung tombak itu benar-benar membuat konsentrasi pasukan terbelah.
“Amirul Mukninin…,” salah seorang petarung di barisan Ali mendekati pemimpinnya,”… jika mereka meminta bertahkim kepada Kitabullah, apakah layak kita menolaknya?”
“Aku tahu tipu muslihat mereka!” Ali mengencangkan suaranya,”…ini hanya bagian dari akal mereka untuk menghindari kekalahan!”
“Jangan engkau berkata dengan nafsumu, Ali!” suara yang tak kalah kencang terdengar dari sekitar Khalifah Ali,”…. segera perintahkan pasukanmu yang masih berperang untuk menghentikan pertempuran. Ini sungguh urusan yang harus terselesaikan dengan Al Qur’an.”
Berkuda dengan tegang seorang lelaki bernama Mus’ar bin Fuka at-Tamimi. Dia lelaki bermuka bagai kumpulan kemarahan beberapa orang. Wajahnya keras, bicaranya lancang. “Ali! Kita harus menyerahkan persoalan ini kepada Al Qur’an. Jika engkau tetap menolak, engkau akan mengalami apa yang dialami Utsman!”
Ali terdiam. Hatinya begitu geram. Mereka mengancam khalifah yang mereka angkat sendiri.
***
Begitulah awalnya, Kawan.
Mereka yakin betul dengan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an. Mereka bunuh lelaki Muslim, dan Muslimah, hanya karena orang-orang malang itu berbeda pemahaman.
Kejahatan-kejahatan yang tak terbayangkan ketika mereka bilang, itu ilham dari Al Qur’an.
Pada akhirnya Ali ra. berhasil menumpasnya, namun sisa-sisa pengikut Khawarij berhasil membuat kejahatan besar dengan membunuh sang Khalifah, melukai Gubernur Mu’awiyyah, dan hampir-hampir melukai Amr bin Ash. []