Oleh: Tasaro Gk
(Penulis, Pengasuh Kampoeng Boekoe)
SAYA tahu, akan selalu ada kontra terhadap narasi apa saja.
Bagi saya, itu risiko menyampaikan sebuah pendapat. Namun, saya selalu mengembalikannya kepada niat awal. Ketika menulis ini, saya hanya ingin menjawab pertanyaan “Apakah pada zaman Rasulullah sudah ada teroris atau semacamnya? ”
Rela atau terpaksa, jika kita ingin belajar dari masa lalu, kita mesti merunut ke sejarah awal. Membuktikan orang-orang sempalan memang sudah ada sejak masa awal. Diinisiasi oleh Khawarij pada zaman Ali ra. lalu lahir dengan nama-nama berbeda sepanjang sejarah manusia.
Dengan begitu, keyakinan kita kian teruji bahwa Islam bukan agama kebencian. Kita tahu pasti, ada orang-orang yang melakukan tafsir terhadap Al Qur’an lalu mempraktikannya dengan keyakinan mereka sendiri.
Sudah pasti, saya tidak menghendaki tulisan saya malah menjadi arena debat kusir dan ajang saling mencaci. Alangkah tidak produktif sementara tragedi bahkan masih terjadi.
Jadi kawan, mari kita bertualang.
Lebih dari seribu tahun setelah sejarah Khawarij usai, muncul fenomena menarik yang banyak diulas oleh penulis dari berbagai belahan dunia. Tentang ini, saya mengulang apa yang saya baca dalam buku Dari Puncak Bagdad yang ditulis Tamim Ansary.
Sekitar 300 tahun lalu, umat Islam sedang berada dalam pengulangan kegelisahan, setelah setengah milenium berlalu masa ulama ternama Ibnu Taymiyah. Utamanya, di Jazirah Arab.
Mulai ada kelompok-kelompok yang mengampanyekan narasi Ibnu Taymiyah; “Allah telah meninggalkan umat Islam. Muslim harus kembali kepada Islam yang murni. Islam yang dipraktikkan oleh Umat Pertama jika mereka mau pertolongan Allah kembali datang.”
Pesan-pesan dalam kitab tersebut membuat darah muda Muhammad ibn Abdul Wahhab bergolak. Lahir di gurun pasir Nejd sekitar 1703, Muhammad muda memiilki kesungguhan kuat untuk menemukan Islam yang dia anggap benar.
Ajaran-ajaran Ibnu Taymiyyah dia temukan dalam pembelajarannya di Madinah, ketika ayahnya yang seorang hakim mengirim dia ke sana supaya bisa mendalami ilmu Al-Quran secara mendalam.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madinah, menurut Tamim Ansary, Muhammad kemudian mendatangi Basrah yang riuh rendah. Ramai oleh orang-orang, berbagai bentuk pemikiran, berbagai interpretasi terhadap kitab suci yang di telinganya terdengar lancang, dan segala gegap gempita sebuah kota kosmopolitan yang membuatnya muak.
Muhammad membawa pulang segala pengalamannya itu ke Nejd dan menjadikannya sebagai sebuah bahan perenungan. Telah dia timbang-timbang apa yang dia saksikan di sepanjang perjalanan dan apa yang dia tafsirkan dari kitab-kitab yang dia pelajari. Muhammad yang penuh semangat lantas menggemakan sebuah tekad di dalam dadanya. Dia harus melakukan sebuah perubahan.
Dia mulai memberitakan kebangkitan agama melalui pemulihan Islam ke bentuk aslinya. Hanya ada satu Tuhan, serunya dengan suara menggelegar, dan setiap orang harus menyembah satu Tuhan persis seperti yang diperintahkan dalam Kitab Suci. Setiap orang harus mematuhi hukum yang diterapkan wahyu. Setiap orang harus hidup persis seperti kaum yang awal di Madinah pada zaman Nabi Muhammad Saw., dan siapa saja yang menghalangi pemulihan umat suci dan asli itu harus dibinasakan (Ansary, 2010: 405).
Masih dari buku Tamim Ansari ini, mengandalkan kemampuannya dalam menyeru, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai mendapatkan pengikut dari kaum Badui. Tak berapa lama setelah berhasil membentuk kelompok yang percaya dengan doktrin-doktrinnya, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai bergerak untuk menerapkan pemahamannya dalam aksi nyata. Bersama kelompoknya yang pada kemudian hari dinamakan Wahhabi, dia mulai menghancurkan berbagai tempat ibadah karena menganggapnya sebagai berhala.
Popularitas Muhammad bin Abdul Wahhab cepat naik hingga dia diangkat menjadi hakim dan kian serius menerapkan hukum-hukum yang dia yakini, yaitu hukum-hukum kaku yang tak berkompromi.
Masyarakat yang mulai jengah dengan cara Muhammad bin Abdul Wahhab mengeksekusi para terhukum mulai bergolak. Mereka menuntut agar Muhammad bin Abdul Wahhab diturunkan.
Kehendak itu kian serius ketika sebagian orang mewacanakan agar Muhammad bin Abdul Wahhab dihukum tanpa mesti diadili terlebih dahulu terkait dengan praktik tangan besi yang dia jalankan sebagai hakim.
Muhammad bin Abdul Wahhab disebut melarikan diri dari masyarakatnya sendiri kemudian mendatangi sebuah kota oasis bernama Diriyah. Di tempat itu, kecenderungan syariat yang dia yakini mendapatkan sambutan yang hangat, tepat ketika dia bertemu dengan seorang penguasa setempat bernama Muhammad Ibnu Saud.
Iya, namanya melekat pada sebutan Kerajaan Arab Saudi sekarang. Duet keduanya memulai sebuah paham yang kemudian berkembang hingga sekarang: Wahhabi.
Apakah ini versi tunggal sejarah Muhammad bin Ibnu Wahhab?
Rupanya tidak.
Saya diingatkan seorang kawan di media sosial, akan adanya cerita versi lain perihal ini. Bahwa, apa pun yang disematkan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahhab itu hanya fitnah.
Kawan tadi meyakinkan saya bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab jauh dari gambaran yang ditulis oleh para sejarawan. Misalnya, tentang mudahnya Muhammad mengafirkan. Menurut kawan ini, banyak syarat dan kaidah-kaidah yang berat sebelum menjatuhkan vonis kafir terhadap seseorang.
Masing-masing versi akan saya ceritakan, seperti cara kerja seorang wartawan. Jika ada dua versi berseberangan perihal satu hal, dua-duanya saja dimunculkan.
Dalam buku Dari Puncak Bagdad dikisahkan, sewaktu Muhammad ibn Abdul Wahhab menemukan partner ideologis yang siap menyokong fatwa apa pun yang dikeluarkannya, pekerjaan besar untuk memurnikan Islam dalam pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab pun dimulai.
Muhammad Ibnu Saud sebagai pemimpin suku dan Muhammad ibn Abdul Wahhab sebagai penggenggam puncak otoritas keagamaan komunitas Muslim bersatu dalam satu visi tunggal.
Hal yang kemudian terjadi adalah kepanikan massal suku-suku Arab yang diperintah Muhammad bin Abdul Wahhab dan pasukan Ibnu Saud agar mereka berpindah. Bukan berpindah agama, karena mereka pun Muslim. Kampanye Muhammad bin Abdul Wahhab adalah perpindahan visi Islam yang ia khotbahkan.
“Pindah! Pindah! Pindah!” Mereka berteriak tiga kali. Jika peringatan itu diabaikan tiga kali (seperti yang umumnya terjadi) Wahhab (baca: Muhammad ibn Abdul Wahab) mengatakan kepada tentaranya, mereka bisa langsung membunuh orang-orang yang mereka hadapi, Allah mengizinkan itu, karena mereka adalah orang-orang kafir (Ansary, 2010: 406).”
Gerakan penyeragaman visi keislaman ini terus berlanjut bahkan setelah Ibnu Saud mangkat. Anak Ibnu Saud bernama Abdul Aziz mewarisi sepenuhnya semangat ayahnya untuk mempersatukan Jazirah Arab dalam keseragaman keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Masih dalam buku yang sama dituliskan, Muhammad bin Abdul Wahhab mangkat pada 1792 dengan meninggalkan dua puluh janda dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya.
Abdul Aziz kemudian melengkapi label kepemimpinannya. Selain sebagai penerus Ibnu Saud, dia juga mewarisi kepemimpinan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Dimulailah penyapuan umat yang amat mencengangkan ketika Abdul Aziz menyerang Karbala tempat kaum Syi’ah tengah memperingati hari kematian Husain, putra Ali bin Abu Thalib. Serangan tersebut sekaligus menjadi awal pembantaian dua ribu kaum Syi’ah yang dalam ideologi Wahhab merupakan penghuni papan atas kelompok orang yang merusak dan mengubah Islam secara fundamental.
Pergerakan pasukan Abdul Aziz terus berlanjut ke Madinah dan Mekah. Di Madinah, tentara Abdul Aziz menghancurkan makam-makam sahabat Rasulullah. Berlanjut ke Mekah, Abdul Aziz merusak tempat yang konon menjadi lokasi kelahiran sang Nabi dengan alasan mencegah umat memberhalakan tempat tersebut.
Gerakan Abdul Aziz baru terhenti setelah Sultan Utsmani di Turki mengirim Muhammad Ali, seorang khedive Mesir yang menggulung kekuatan Abdul Aziz dan membuka Mekah bagi semua aliran Islam, seperti semula. Terhenti cerita perihal para penegak bendera Wahhabi yang ingin menancapkan visi Islam sesuai dengan tafsir mereka. Namun, kenyataannya, Wahhabisme terus hidup, hingga hari ini.
Versi ini terang-benderang dalam buku Dari Puncak Bagdad atau buku-buku sejarah lain, salah satunya History of The Arabs karya Philip K. Hitti yang dilabeli “Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam.”
Tetapi bagaimana kedua penulis itu menggambarkan kisah hidup Muhammad ibn Abdul Wahhab tidak tegak tanpa tentangan.
Sudut pandang berbeda amat mencolok ditulis oleh para penulis yang meyakini Muhammad ibn Abdul Wahab sebagai sebagai sosok yang mulia.
Saya menemukan tulisan Abul Harits as-Salafy di portal almanhaj.or.id yang berjudul “Menjawab Tuduhan Batil terhadap Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.”
Sejarah Muhammad bin Abdul Wahhab dikisahkan tidak banyak berbeda namun punya detail yang lebih mengagumkan.
Muhammad digambarkan seorang yang sangat cerdas. Ia hafal Al-Qur’an sebelum usia 10 tahun. Ia belajar Fiqih Hambali pada ayahnya. Syaikh Abdul Wahhab yang sangat mengagumi kecerdasan putranya.
Muhammad yang telah menguasai ilmu Al-Qur’an dan Sunnah menyaksikan praktik syirik, khurafat, dan bid’ah yang merajalela di Kota Najd, tempat kelahirannya. Diceritakan, para wanita yang belum kawin mendatangi pohon-pohon kurma yang dikeramatkan dan ber-tawassul agar enteng jodoh.
Abul Harits as-Salafy menulis, “Di Hijaz beliau melihat orang-orang mengeramatkan kuburan para sahabat dan ahlul bait, dan di kota suci Madinah Al-Munawwaroh yang dulu merupakan pusatnya tauhid, beliau menyaksikan bagaimana manusia beristigosah dan berdoa kepada kepada Rasulullah, yang mana hal itu menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah.”
Ada benang merah yang sama , pikir saya, apa yang Abul Harits tulis kemudian dengan dua narasi dalam buku yang saya sebutkan sebelumnya. Namun, tentu saja kekhidmatannya berbeda.
Jika Ansary dan Hitti menjadi narator yang “menjaga jarak” terhadap subjek, Abdul Harits mengisahkannya tokoh ini dengan penuh rasa takzim.
Misalnya, disebutkan bahwa ketika Muhammad bin Abdul Wahhab melihat berbagai kemungkaran itu, ia bangkit dan segera memulai dawah. Tak ada tujuan lain kecuali memurnikan ketaatan kepada Allah dan memurnikan tauhid masyarakat Arab. Sebab, cara mereka berislam sudah bercampur dengan syirik, khurafat, dan bid’ah.
“Beliau seakan-akan membawa agama baru bagi masyarakat Arab pada waktu yang tengah tenggelam dengan kesyirikan, bid’ah dan khurafat. Mulailah terjadi perlawanan dari kelompok-kelompok sesat yang merasa dirugikan dengan adanya dakwah Syaikh ini, kemudian mereka mencoba mengadakan perlawanan baik fisik maupun pikiran. Fitnah dan tuduhan keji mulai di arahkan kepada beliau, dengan menyebut semua yang menyelisihi adat dan kebiasaan mereka disebut “Wahhabi” segala sesuatu yang konotasi jelek disebut “Wahhabi”,” tulis Abul Harits.
Abdul Harits meneruskan, meski mendapat tentangan, Muhammad bin Abdul Wahhab terus berdakwah, menulis kitab-kitab tentang tauhid, melaksanakan syariat, serta meninggalkan kesyirikan.
Diceritakan kemudian bagaimana Muhammad pergi ke Dar’iyyah (bukan melarikan diri dari masyarakatnya sendiri) lalu bertemu dengan pemimpin suku bernama Muhammad bin Su’ud yang membaiatnya dan bersama-sama berjihad di jalan Allah.
Pada akhir kisah Muhammad ibnu Abdul Wahhab dalam tulisan ini saya tidak menemukan detail yang sama dengan apa yang ada pada dua buku yang saya baca lebih dulu. Wafatnya Muhammad Ibnu Saud disampaikan dengan santun begitu juga pergantian kepemimpinan ke putranya Abdul Aziz.
Abdul Harits menulis, “Setelah Muhammad bin Su’ud, kemudian datanglah Raja Abdul Aziz (sesudah masa yang penuh dengan kekacauan dan perpecahan), beliau bersungguh-sungguh dalam memperbaiki keadaan umat ini sambil memohon pertolongan kepada Allah, kemudian meminta bantuan para ulama, maka Allah pun menolong dan menguatkannya, serta mempersatukan kalimat kaum muslimin Jazirah ini. Di atas Syariat dan di jalan-Nya, sehingga tegak dan bersatu jazirah ini dari penjuru utara hingga selatan, timur hingga barat di atas kebenaran dan petunjuk, dengan sebab kejujuran, jihad, dan menegakkan kalimat Allah.”
Hitti mencatat detail yang sedikit berbeda tentang masa setelah itu. Ketika penguasa Turki merasa terancam kekuasaannya dan mengirim pasukan ke tanah Arab.
“Porte meminta Muhammad Ali untuk memimpin serentetan serangan militer yang berakhir pada 1818 dengan hancurnya kekuatan Wahabi, dan hancurnya ibukota mereka, Al Dir’iyah. Bagaimanapun, ajaran-ajaran Wahabi, terus menyebar, dan pengaruh mereka dirasakan dari mulai Sumatra di timur hingga Nigeria di barat,” tulis Hitti.
Apakah kemudian ada hubungan antara sejarah yang membentang ratusan tahun itu dengan Muslim Indonesia?
Saya cukup terkejut ketika menyimak video ceramah Prof. Said Aqil Sirad, ketua PBNU di channel youtube yang berjudul “Prof Said Aqil Menjelaskan Wahabi”.
Dalam video itu, Pak Aqil sangat tegas menyampaikan bahwa pemikiran Wahabi telah hidup di Indonesia dan mengancam nasionalisme bangsa Indonesia. Pak Said punya data yang sangat detail tentang kasus-kasus yang bahkan mengaitkan oknum Wahhabi dengan ISIS. Ia juga menyebut nama-nama website yang ia yakini mengampanyekan paham Wahabi dan telah ia usulkan untuk diblokir oleh pemerintah.
Jika memang yang disampaikan Prof Said Aqil benar maka sejarah ratusan tahun memang bersambung hingga ke zaman ini. Tidak ada yang melompat dari ruang hampa.
Lalu, apakah ajaran Muhammad ibn Abdul Wahhab benar-benar identik dengan Wahhabi?
Menurut Ansary, jika seorang pengkaji membaca tulisan-tulisan Muhammad Ibn Abdul Wahhab, ia tidak akan menemukan Wahhabisme yang dipahami saat ini. Sebab, karya-karya Muhammad ibn Abdul Wahhab tak membahas politik melainkan tafsir Al Qur’an yang ditulis secara ketat.
Ansary menulis, “Karya besarnya, Kitab al Tawhid memiliki enampuluh enam bab, masing-masing menyajikan satu kutipan Al Qur’an atau lebih, membongkar setiap kutipan, mendaftar pelajaran yang dapat dipetik dari petikan itu, dan kemudian menjelaskan bagaimana kutipan ini berhubungan dengan inti kredo Wahhab (baca: Muhammad ibn Abdul Wahhab).”
Ansary bahkan berandai-andai, jika Muhammad ibn Abdul Wahhab masih hidup, ia akan berkata “Saya bukan seorang Wahhabi.”
Meski begitu, Ansary mengakui bahwa Wahhabi benar-benar berkembang dalam aturan yang lebih luas yang ditafsirkan dari ceramah-ceramah Abdullah ibn Abdul Wahhab.
Wahhabisme yang diperluas ini pesannya sangat bulat, “Hukum adalah Islam dan Islam adalah Hukum: membenarkannya, mengetahuinya, secara lengkap, dan mengikutinya secara identik adalah kesempurnaan iman.”
Saya sempat mewancarai penulis buku Mengenal Sang Kekasih bernama pena Bang Miqo, perihal ini. Selama 10 tahun terakhir, Bang Miqo menjadi santri Sayyid Ahmad Muhammad al Maliki al Hasani di Mekah dan sangat sering menulis perihal tema Wahabbi.
Pada ujung obrolan kami, Bang Miqo berkata begini, “Layaknya pemikiran islami lainnya, sekte wahhabisme pun sebuah pemikiran yang juga berdiri di atas dalil-dalil suci yang dipahami dengan pemahaman manusiawi: bisa benar ataupun salah. Dalam perjalanannya, wahhabisme memang melewati fase yg menunjukkan ‘betapa keras’nya mereka dalam menerapkan pemahaman atas dalil-dalil tersebut. Tapi dengan berjalannya waktu, banyak sekali pemahaman keras tersebut yg mulai melunak (secara umum; dan disana masih banyak pula yg tetap dalam sikap ekstremnya).”
Bang Miqo meyakini, tujuan pendirian sekte ini memang untuk memurnikan tauhid. Akan tetapi, satu kesalahan inti terbesar dari sekte ini adalah ketika mereka melihat bahwa apa yang mereka pahami pastilah benar dan harus ditegakkan.
Sedangkan apa yang dipahami oleh orang lain adalah salah dan harus dilenyapkan. Diakui atau tidak, kesalahan yang dikawinkan dengan tujuan mulia tersebut itulah yang melahirkan ekstremisme dimana-mana.
“Ketika seorang Wahabian menyadari inti kesalahan ini dan mulai mau berubah lebih terbuka maka perubahan pemahaman yg lebih wasathi dan bijak pun akan muncul. Dan setidaknya itu sudah dirasakan akhir-akhir ini. Alhamdulillah,” tutup @Bang Miqo. []