HUBUNGAN suami istri atau jima’ dalam sebuah ikatan pernikahan merupakan hak sekaligus kewajiban. Hal tersebut halal dan bahkan bernilai ibadah bagi suami dan istri.
Mohammad Fauzil Adhim dalam Kado Pernikahan untuk Istriku menjelaskan, jumhur ulama menyatakan melakukan jima hukumnya wajib kecuali jika ada halangan.
Lantas, berapa rentang waktu maksimal suami diperbolehkan tidak mendatangi istrinya untuk melakukan jima’?
BACA JUGA:Â Jika Jima untuk Hasilkan Keturunan
Fauzil Adhim mengungkapkan, sebagian ulama pun menyatakan rentang waktu paling lama adalah enam bulan. Jadi, diperbolehkan bagi seorang suami mendatangi istrinya sekali dalam enam bulan. Itu rentang waktu yang masih bisa ditolerir oleh pasangan.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, rentang waktunya adalag empat bulan sekali. Imam Ahmad termasuk yang mengeluarkan pendapat paling lama empat bulan sekali. Alasannya, Allah SWT menentukan masa ini untuk sahaya.
Apabila seorang suami pergi dan tidak ada halangan untuk pulang, maka ia diberi waktu enam bulan. Saat Imam Ahmad ditanya, berapa lama seorang suami boleh pergi meninggalkan istrinya? Dia menjawab enam bulan. Jika dia tidak mau pulang maka hakim akan memisahkan pasangan tersebut.
Pendapat lebih ketat dikeluarkan oleh Ibn Hazm. Menurut dia, “Wajib bagi seorang suami menjima istrinya minimal sekali setiap masa suci bila hal itu mampu dilakukan. Apabila tidak demikian, maka ia telah bermaksiat kepada Allah SWT.”
Firman Allah SWT:
“… Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.. ” (QS Al-Baqarah: 222)
BACA JUGA:Â Suami Istri Bosan Jima? Lakukan 4 Tips Ini
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali memberi nasihat agar suami menjima’ istri empat hari sekali demi menjaga ketenangan istri. Imam Al Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin:
“Sebaiknya ia mendatangi istrinya sekali setiap empat malam. Yang demikian itu lebih adil mengingat jumlah wanita yang boleh dinikahinya sekaligus ialah empat orang. Karena itu, boleh saja ia menunda waktunya sampai sebatas ini. Kendati demikian, hendaknya ia menambah atau mengurangi sesuai dengan kebutuhan istri. Hal ini terutama mengingat bahwa upaya membentengi istri dan gejolak nafsu syahwatna merupakan kewajiban seorang suami.”
Jika seorang suami melupakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan seks istri sehingga istri mengalami penderitaan batin yang panjang, keretakan rumah tangga bisa terjadi.
Muhammad Abdul Halim Hamid pun mengingatkan, “Setiap amal yang diwajibkan Allah pasti mengandung kebajikan yang banyak. Barang siapa menyia-nyiakannya maka akan datang berbagai musibah.” []
Referensi: Kado Pernikahan untuk Istriku/Karya: Mohammad Fauzil Adhim/Penerbit: Mitra Pustaka/Tahun: 2002