SEORANG suami wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Bukan main-main, berusaha mencari nafkah juga sebanding dengan pahala jihad di jalan Allah SWT. Perintah Allah bagi suami untuk menafkahi istrinya telah jelas disebutkan dalam Al Quran.
Namun bagaimana jika seorang suami mengalami kesulitan keuangan atau masalah kesehatan sehingga tidak mampu memberikan nafkah? Adakah batas waktu khusus mengenai menafkahi istri?
BACA JUGA: Menafkahi Ibu atau Istri, Mana yang Lebih Utama?
Menurut pendapat Ibnu Hazm, seorang suami setidaknya harus memberikan nafkah minimal sebulan sekali jika ia mampu. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu… Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya” (QS. Al Baqarah: 223)
Sedangkan menurut Imam Ahmad, batas waktu seorang suami tidak menafkahi istrinya adalah empat bulan. Hal ini sesuai dengan keputusan di masa Umar bin Khattab yang mana banyak terjadi peperangan. Ia merasa gelisah dengan putrinya yang ditinggal oleh suaminya sehingga ia pun bertanya padanya.
Hafsoh, putri Umar bin Khattab kemudian menjawab, “Sekuat-kuat wanita dia hanya bisa bertahan selama empat bulan.”
Namun meskipun suami tidak mampu menafkahi istri dalam waktu lama, bukan berarti sebuah pernikahan akan otomatis dalam kondisi cerai. Sebuah perceraian tetap harus dilakukan dengan jatuhnya talak dari suami.
BACA JUGA: Wajibkah Anak Menafkahi Orang Tua?
Imam Ibnu Baz menjelaskan, kapan seorang wanita bisa dianggap telah ditalak apabila:
1. Suami menjatuhkan talak kepadanya,
2. Ketika menjatuhkan talak, suami sehat akal, tidak dipaksa, tidak gila, tidak mabuk, atau semacamnya
3. Ketika menjatuhkan talak, istrinya sedang suci (tidak sedang haid) dan belum digauli, atau sedang hamil, atau sudah menapause. (Fatawa at-Talak Ibnu Baz, 1/35)
Jika seorang suami memang tidak sanggup menafkahi istrinya, maka sang istri diperbolehkan untuk mengajukan khulu’ atau gugatan cerai. Jadi perceraian tidak bisa terjadi begitu saja, namun tetap melalui sebuah proses. Keduanya harus bisa mencoba untuk memperbaiki permasalahan yang ada terlebih dahulu. Jika memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi barulah diperbolehkan mengajukan khulu’. []
SUMBER: DALAM ISLAM