Oleh: M. Anwar Djaelani,
Penulis Buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”
Alhamdulillah, bisa dibilang, selalu menarik apapun yang terkait dengan Imam Al-Ghazali. Buku-buku dia, bernas dan mencerahkan, termasuk yang berjudul “Mizan al-‘Amal” yang berarti “Timbangan Amal”.
Ilmu
Edisi terjemahan dari buku yang disebut di atas berjudul “Berbisnis dengan Allah”. Melalui buku itu, Imam Al-Ghazali mampu menghidupkan spirit kaum beriman untuk berilmu setinggi-tingginya, lalu -pada saat yang sama- ilmu itu harus bisa menggerakkan mereka untuk beramal dengan amalan berkategori terbaik.
Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang berupa panggilan terhadap orang-orang beriman yang disertai perintah untuk melakukan amaliyah tertentu. Bukankah dalam beramal kita tak boleh taqlid? Dan, dengan demikian, bukankah kita harus berilmu?
Jika manusia beriman dan sekaligus beramal, maka itu akan berujung kepada terbinanya insan yang bertaqwa (yang berakhlak mulia). Sementara, taqwa adalah sebaik-baik bekal dalam mengarungi kehidupan ini agar berbahagia.
Kebahagian adalah hal yang selalu dirindukan dan -oleh karena itu- selalu dicari manusia. “Kebahagian,” kata Al-Ghazali- “Adalah dambaan setiap orang yang berakal sehat. Sedangkan mengabaikannya, adalah sebuah kebodohan.” Hujjatul Islam itu lalu berkata: “Kemenangan dan keberhasilan hanya dapat dicapai dengan menggunakan ilmu dan amal sekaligus”.
Singkat kata, menurut Tokoh (dengan “t” besar) yang lahir pada tahun 1058 M dan wafat pada usia 55 tahun itu, kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu dan amal. Dan, dalam perjalanan hidupnya sendiri, ada kesaksian bahwa Al-Ghazali adalah pribadi yang sangat konsisten terhadap dua hal yang selalu dia serukan untuk ‘merebutnya’ itu, yaitu ilmu dan amal.
Tetapi, bagaimanakah cara mempraktikkannya? “Semua itu hanya dapat dicapai melalui latihan (riyadlah) dan pengendalian (mujahadah). Pendapat Al-Ghazali ini disandarkan kepada: “Dan, orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS Al-’Ankabuut [29]: 69).
Lalu, dengan media apa kita bisa mendapatkan ilmu? “Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu-ilmu pengetahuan aqliyah itu dapat diperoleh dengan sarana akal yang merupakan potensi yang paling mulia. Dengan akal itu pula seseorang dapat sampai ke surga jannatul ma’wa.“ Oleh karena itu, Al-Ghazali mengingatkan, bahwa: “Barang siapa yang akalnya tidak mampu memperbanyak amal-perbuatan yang baik, maka matinya akan kekurangan tingkah laku yang baik.”
Dengan ilmu, kita bisa lebih mendapatkan manfaat dari pelaksanaan amal-ibadah yang kita lakukan. Al-Ghazali mengajarkan agar jika kita ‘berbisnis’ dengan Allah untuk mencapai kebahagian, maka harus diraih dengan ilmu dan amal.
Dalam konteks ini, ingatlah kita, bahwa: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS Al-Mujaadilah [58]: 11).
Kita juga ingat ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan” (QS Al-A’Alaq [96]: 1). Firman Allah yang turun pertama kali itu sungguh bisa memberi inspirasi yang luar biasa kepada kita. Yang diminta dibaca adalah ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat. Jika kaum beriman bisa ‘membaca dengan baik’, maka mereka akan beroleh ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu pengetahuan itu, dia akan terbimbing untuk (lebih) bertauhid, dan –oleh karena itu- pantas disebut sebagai ulama. “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan, demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang” (QS Faathir [35]: 27-28).
Melalui Kitab Ihya’ Ulumuddin –yang bermakna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”- kita menjadi tahu bahwa Al-Ghazali memang benar-benar meyakini bahwa langkah paling tepat mengangkat derajat umat hanyalah lewat pembenahan keilmuan mereka. Dia kobarkan semangat berilmu lewat bab pertama dari buku legendaris tersebut.
Bukalah buku itu! Maka, kita akan dengan mudah mendapatkan bahasan tentang “Ilmu” di bagian awal. Bab I berjudul “Tentang Keutamaan Ilmu, Mengajar, Belajar dan Dalil-dalil dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Akal”.
Ayat-ayat yang dijadikan hujjah Al-Ghazali, secara sendiri-sendiri sebenarnya telah cukup sering kita baca. Tapi, yang membedakan adalah saat dia hubung-hubungkan dengan landasan hujjah yang lain. Misal; “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu) (QS Ali-‘Imraan [3]: 18).
Apa catatan Al-Ghazali atas ayat itu? Dia bilang, “Lihatlah bagaimana Allah memulai dengan diri-Nya. Lalu, dengan malaikat. Lantas, dengan ahli-ahli ilmu. Dengan ini, cukuplah bagi Anda untuk mengetahui tentang kemuliaan, keutamaan, kejelasan, dan kelebihan orang-orang ahli ilmu”.
Mulia, Mulia!
Jadi, ayo ‘berbisnis’ dengan Allah! Carilah ilmu sebanyak mungkin. Lalu, dengan ilmu itu, perbanyak amal shalih yang pelaksanaannya kita dasarkan kepada syariat Islam yang benar. InsyaAllah, hanya dengan cara itu kita akan menjadi mulia karena tergolong sebagai orang yang bertaqwa. []