Oleh: Rainy Dyah Pramesti
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
“Proyek Kereta Cepat: Tak Perlu!”
Menduduki posisi sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah negara bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Butuh kecerdasan, butuh ilmu, butuh taktik dan strategi jitu agar setiap keputusannya tidak merugikan negara dan rakyatnya. Seperti yang dilansir dari www.cnnindonesia.com (29/5) diberitakan bahwa Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia, memutuskan secara final pembatalan proyek kereta cepat Malaysia-Singapura High Speed Rail (HSR) dan East Coast Rail Link (ECRL) yang telah ditandatangani tahun 2016 lalu pada masa jabatan PM Najib Razak.
BACA JUGA: Kemenangan Oposisi di Malaysia dan Pelajaran untuk Indonesia
Keputusan pembatalan proyek yang akan menghabiskan biaya 110 miliar ringgit (Rp386triliun) ini diperkuat dengan penyataan Mahathir kepada harian The Financial Times bahwa proyek kereta cepat ini tidak menghasilkan uang satu sen pun bagi Malaysia. Perdana Menteri yang sebelumnya pernah menjabat lebih dari dua dekade ini mengatakan bahwa proyek ini bukanlah suatu keharusan untuk direalisasikan. Memang akan menyingkat waktu perjalanan Kuala Lumpur-Singapura hanya 90 menit dari waktu rata-rata 5 jam, tapi sayangnya utang akan terus bertambah.
Please Help Malaysia!
Jika dilihat dari segi moda transportasi umum, Malaysia menang di atas Indonesia yang sedang menggarap Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Pembatalan proyek kereta cepat yang akan dibangun sepanjang 350 kilometer dan akan rampung di tahun 2026 ini dilakukan demi mengurangi beban utang Malaysia yang kian membengkak. Pemerintah Malaysia sedang berusaha menyampaikan pembatalan sepihak kepada Singapura.
Kaget luar biasa bagi seorang Mahathir bahwa utang Malaysia hari ini menyentuh di angka 1 triliun ringgit, mencapai tiga kali lipat jika dibanding pada masa jabatannya dulu sebagai perdana menteri yang mencapai angka 300 miliar ringgit. Beberapa waktu lalu sempat ramai di Negeri Jiran seorang warga Malaysia membuat akun donasi Please Help Malaysia! dalam laman www.gogetfunding.com untuk membantu utang negaranya yang mencapai 1 triliun ringgit atau sekitar Rp3.500 triliun.
Indonesia, Bercerminlah
Utang Indonesia jauh lebih tinggi dari Malaysia, per April 2018 disampaikan oleh Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mencapai Rp4.180 triliun. Memang berbeda rasio jumlah warga negara, jumlah pendapatan perkapita, dan kondisi ekonominya. Hal ini harusnya bukanlah penghalang bagi pemerintah untuk berupaya serius mengurai masalah utang Indonesia yang harus dibayar dengan pajak dan bunganya.
BACA JUGA: Mahatir Mohamad akan Jadi Perdana Menteri Tertua di Dunia
Proyek pengadaan MRT tahap I (Lebak Bulus – Bundaran HI), MRT tahap II (Bundaran HI – Kampung Bandan), MRT Jakarta-Bandung dan LRT yang sedang moratorium alias dibekukan sementara ini dijalankan pemerintah demi meningkatkan moda transportasi di Indonesia. Adanya kebijakan Turnkey Project yang telah disahkan, sebuah kontrak bisnis internasional yang menjadi kendali utama proyek kerjasama adalah sang kontraktor, menjadi sebab China mudah sekali melakukan tekan kontrak perjanjian dengan Indonesia yang akhirnya berujung pada bertambah nominal utang negara.
Review:
Kerjasama -> kerja sama
Nasi sudah menjadi bubur, memang sudah terlambat untuk membatalkan proyek MRT dan LRT sepenuhnya jika serius ingin mengurangi total utang Indonesia. Bukan hanya proyek MRT dan LRT saja sebab penambah utang, masih banyak sekali perjanjian dengan asing dan ‘aseng’ yang jelas sekali merugikan negara. Menjamurnya bantuan investasi infrastruktur dari luar negeri yang terlihat akan meningkatkan ekonomi Indonesia namun nyatanya lebih banyak merugikan negara, keuntungan yang diraih jauh dari harapan.
Sudah seharusnya pemerintah serius menyelesaikan masalah utang, bukan bermain api dalam lingkaran setan sistem kapitalisme dengan ikut perjanjian kerjasama dengan asing dan ‘aseng’ yang perlahan mencekik ekonomi Indonesia atas lilitan utang. Jika pinjaman utang dari negara manapun diterima dengan tangan terbuka justru menjadi pintu masuk neoimperialis atau penjajahan gaya baru bagi siapapun yang berniat menguasai Indonesia. Bukan hanya China yang memberi bantuan utang dengan memperbanyak proyek di Indonesia, pinjaman utang juga bersumber dari Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang dipegang kendali oleh Amerika.
Akan sulit bagi Indonesia menjadi negara mandiri apabila masih berat hati menolak tawaran kerjasamadengan luar negeri. Indonesia butuh penerapan syariat Islam untuk menjadi negara mandiri dan bebas dari lilitan utang. Dalam Islam, negara akan memaksimalkan segala potensi sumber daya dalam negeri untuk kepentingan internal negara. Di sisi lain, akan menghasilkan pundi-pundi untuk memenuhi segala kebutuhan warganya tanpa perlu pinjaman utang luar negeri. Adanya riba dalam setiap utang membuat negeri ini tidak dapat keberkahan dari Allah. Maka, jalan yang harus ditempuh bukan dengan cara iuran antarwarga kumpulkan rupiah demi membantu masalah utang Indonesia dan membuat Please Help Indonesia! []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.