Oleh: Titien SDF
DI sebuah hutan di Yunani, ada sebuah telaga yang airnya jernih. Terkisahkan pula seorang pemuda nan rupawan, Narcissus. Setiap hari, dia selalu duduk berlutut di tepian telaga, mengagumi keindahan wajahnya sendiri tanpa jemu dan enggan beringsut. Dia pun melupakan segala hajatnya sehingga semakin lama tubuhnya semakin lemah dan jatuh tenggelam ke dalam telaga.
Dikisahkan, air telaga yang semula berasa tawar menyegarkan, airnya pun berubah menjadi seasin air mata. Semua itu karena telaga menangisi kematian Narcissus.
“Mengapa kau menangis?” tanya Peri hutan.
“Aku menangisi Narcissus,” sahut telaga itu, “karena sejak ketiadaan Narciscus, aku tak bisa melihat keindahanku sendiri yang terpantul di kedua bola matanya saat dia berlutut.”
Narcissus, ataupun telaga tempat dia bercermin, mengingatkan sifat manusia yang cenderung mengagumi diri sendiri/sesuatu secara berlebihan. Kekaguman yang melahirkan cinta yang salah, yang selalu ingin berdekatan tanpa melakukan sesuatu apapun, dan berujung pada kebinasaan.
Memang benar adanya, firman Allah dalam QS ayat 4, “laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.”
Dia karuniakan penglihatan yang sempurna. Bola mata yang ukurannya hanya sebesar kelereng, lembek dan mudah robek, tetapi dapat menangkap aneka warna dan ribuan bentuk, dilengkapi dengan kelopaknya yang dapat membuka dan menutup untuk melindunginya. Bulu mata yang tersusun rapi menjadikannya terlihat indah. “Fabi ayyi alaa-irobbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar-Rahman 12).
Dia anugerahkan pendengaran yang menakjubkan. Lubang telinga yang menghadap ke samping, beserta saluran pendengaran yang begitu rumit. Tersembunyi oleh daun telinga yang lembut, terlindung dari sumber suara secara langsung. Padanya, segala macam bunyi dan irama dapat terdengar, dari yang keras menggelegar, yang merdu mendayu-dayu, yang sayu penuh pilu, sampai bisikan lirih selembut salju. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Dia hiasi dengan tampilan tubuh yang mempesona. Tiap helai rambut tersusun begitu rapi dan terus bertumbuh. Tiap ruas tulang yang tersusun kokoh. Tiap serat daging yang menyatu, padanya melekat saraf-saraf dan pembuluh darah, yang kecil dan yang besar, yang lembut serta liat dan fungsinya yang tiada tergantikan oleh apapun. Paras yang rupawan, anggota badan yang lengkap, organ dalam yang memikat, indera yang melekat, semua begitu mengagumkan. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Dia sematkan pula segumpal hati di antara kesempurnaan manusia. Dengannya, manusia dapat menentukan pilihannya, apakah ia memilih selamat atau binasa, beriman ataukah ingkar, mengikuti syariat-Nya atau meninggalkannya? Maka ia bersama dengan apa yang dipilihnya.
Narcissus telah memilih untuk mencintai dirinya sendiri, jasadnya yang rupawan dan menyilaukan. Maka dia hanya duduk diam dan memandang penuh kagum pada apa yang dia cinta, pada pantulan dirinya yang tergambar jelas di air telaga. Dia lupa, yang dia cinta hanya karunia, hanya anugerah, hanya ciptaan. Sedang semua ciptaan itu pada hakikatnya fana, tidak kekal, tidak abadi. Karenanya berdiam diri dalam mencintai karunia adalah sesuatu yang sia-sia.
Salahkah Narcissus? Bila ia mengagumi bentuk penciptaan dirinya? Bukankah itu harus disyukuri?
Benar, mengagumi keindahan bentuk penciptaan kita adalah bagian dari rasa syukur. Namun, kekaguman yang hakiki lebih layak ditujukan pada Sang Pencipta, Dia yang Maha Memberi, Dia yang menjadikan jasad kita terlihat begitu indah. Kepada-Nyalah sepenuh cinta dan harapan mestinya kita tujukan. Kemudian menjaga apa yang Dia karuniakan sesuai dengan petunjuk-Nya.
Rasulullah saw mengajarkan, apabila engkau bercermin, maka ucapkanlah, “allahumma kamaa hasanta kholqi fahasiin khuluqii. Ya Allah, Engkau telah membaguskan penciptaanku, maka baguskanlah pula akhlaqku. ”
Apa yang terlihat indah di dzahir pada hakekatnya tidak dapat menyelamatkan kita dari murka Sang Pencipta, Sang Pemilik segala sesuatu.
Dia tak melihat keindahan dzahir. Tangan-Nya berkuasa untuk mencipta yang jauh lebih indah dan mengagumkan, yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, bahkan tak terbayangkan oleh akal pikiran kita. Maka, menyandarkan keselamatan hakiki kepada keindahan dzahir adalah sia-sia.
Dan Dia berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 13, “inna akromakum ‘indallahi atqookum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.”
Taqwa adalah amalan hati, keindahannya terpancar dalam perilaku yang terpuji, selayak yang telah dicontohkan oleh khotamul ‘anbiya, penutup para nabi, Muhammad Rasulullah saw yang begitu indah dan tinggi menjulang. Hatta ketika para sahabat menanyakan kepada Ummul Mukminin Aisyah ra perihal akhlaq beliau, dijawab, “semuanya menakjubkan. Akhlaq beliau adalah khuluqul qur’an.” Subhanallah.
Allah pun berfirman dalam QS Al Ahzab ayat 21, “laqod kaanalakum fii rosuulillahi uswatun hasanatun liman kaana yarjullaha wal yaumal akhiro wadzakarollaha katsiiron. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Kelak, beliau akan berjaga di tepi telaga yang airnya begitu jernih dan tiada duanya. Telaga yang hanya terdapat di surga, telaga Kautsar. Beliau yang berwajah teduh dan berseri-seri, akan menyambut sesiapa yang datang dan memberi minum dengan tangannya sendiri yang penuh berkah. Dan tiap sesiapa dihalau dari telaganya, beliau berseru, “ya Robbi, ummati … ummati …. Ya Allah, umatku … umatku ….”
Maka Allah menjawab, “engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu.”
Beliau yang memberikan minum dari air telaga Kautsar itu adalah Muhammad Rasulullah saw, sesiapa yang diberinya minum adalah orang-orang beriman, yang mengambil suri tauladan dari kehidupan beliau yang penuh ujian dan berkah, yang mengundang decak kagum kawan maupun lawan, yang membuat sesiapa yang berdekatan dengannya merasa paling dicintai.
Bercermin bukanlah sesuatu yang salah. Dia hanya satu pintu untuk membuka kebaikan dan menutup kejelekan. Bahkan Rasulullah saw bersabda, “al mukminu mirr-atul mukmin. Seorang mukmin itu adalah cermin dari saudaranya.”
Tak seperti Narcissus yang bercermin di air telaga. Narcissus dan telaganya, masing-masing hanya ujub pada diri sendiri dan tidak memperdulikan semua yang ada di sekelilingnya. Seorang mukmin dan mukmin lainnya senantiasa saling mengingatkan yang alpa, meluruskan yang keliru, menguatkan yang lemah dan menambahkan yang kekurangan. Dengannya ukhuwah disatukan dan cinta diikatkan di bawah naungan ridho dan ampunan Allah.
Seorang mukmin mestinya menggunakan penglihatannya untuk memahami ayat-ayat Allah, menggunakan pendengarannya untuk mendengar hukum-hukum Allah, dan menggunakan hatinya untuk memilih menaati syariat-syariat Allah. Dengan demikian dia tak hanya mengagumi keindahan lahiriahnya, namun juga berupaya menghiasi sisi-sisi batiniahnya dengan akhlaq mulia.
“Allahumma kamaa hasanta kholqii fa hasiin khuluqii. Aamiin.” []