IMAM Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits shahih, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa yang halal ia lakukan dengan istri yang sedang haid, lalu Nabi bersabda:
لَكَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ
Artinya: “Boleh bagimu (bercumbu rayu) di luar izar (kain yang menutupi bagian tengah tubuh).”
Hadits di atas menunjukkan keharaman bercumbu rayu pada anggota tubuh di balik izar, dan itu menunjuk pada anggota tubuh di antara pusar dan lutut.
Namun ada Hadits lain, yang juga shahih, riwayat Imam Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ
Artinya: “Lakukanlah oleh kalian apa saja (dengan istri kalian yang sedang haid), kecuali berhubungan badan.”
BACA JUGA: Hukum Menggunakan Obat Penunda Haid bagi Muslimah
Hadits ini menunjukkan, yang diharamkan hanya jima’ saja, dan membolehkan selainnya (dengan istri yang sedang haid), termasuk bercumbu rayu antara pusar dan lutut dengan istri yang sedang haid.
Al-Mahalli menyebutkan dua Hadits di atas saat membahas tentang ta’arudh (pertentangan makna) antar dua dalil khusus, dan menyebutkan ada khilaf ulama dalam melakukan tarjih antar dalil tersebut.
Sebagian ulama mengharamkan bercumbu rayu pada anggota tubuh di antara pusar dan lutut dengan istri yang sedang haid, sebagai bentuk kehati-hatian.
Sebagian menguatkan kebolehan, dengan alasan bercumbu dengan istri yang sedang haid itu adalah hukum asal pada perempuan yang dinikahi.
Bolehkah Bercumbu dengan Istri yang Sedang Haid di Antara Pusar dan Lutut?
Ad-Dimyathi menyebutkan, contoh ulama yang mengharamkan bercumbu dengan istri yang sedang haid di antara lutut dan pusar adalah Asy-Syafi’i, dan yang membolehkan adalah Abu Hanifah.
Al-Lahji menyebutkan perkara ini saat membahas kaidah fiqih, “idza (i)jtama’a al-halal wa al-haram ghalaba al-haram” (إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام), jika sisi halal dan haram bertemu dalam satu perkara, yang dimenangkan adalah sisi keharamannya. Karena itu, pada kasus di atas, yang dirajihkan (dikuatkan) adalah hukum haram sebagai bentuk kehati-hatian, berdasarkan kaidah ini. Wallahu a’lam. []
Rujukan:
1. Hasyiyah Ad-Dimyathi ‘Ala Syarh Al-Waraqat, karya Al-‘Allamah Ahmad bin Muhammad Ad-Dimyathi, Halaman 38-39, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Jakarta, Indonesia.
2. Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Al-‘Allamah ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 100-101, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
BACA JUGA: Berhubungan Sebelum Mandi Wajib Haid, Apa Hukumnya?
Catatan Tambahan:
Pembahasan ini, bisa ditinjau dari dua cabang ilmu sekaligus, ushul fiqih dan qawa’id fiqhiyyah. Dari sisi ushul fiqih, ia membahas ta’arudh antar dalil dan cara melakukan tarjih saat dua dalil tersebut tidak bisa di-jama’ (dipakai keduanya) dan tidak diketahui yang mana datang (disampaikan) lebih dulu.
Dari sisi qawa’id fiqhiyyah, ia adalah contoh kasus berlakunya kaidah fiqih, “idza (i)jtama’a al-halal wa al-haram ghalaba al-haram”. Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara