SEMUA orang menyadari bahwa mimpi itu di luar kendali manusia. Karena itu, orang yang bermimpi, tidak terhitung melakukan amal apapun, baik amal baik maupun amal jelek.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى يحتلم
“Pena catatan amal itu diangkat (tidak dicatat amalnya, pen.), untuk tiga orang: orang gila sampai dia sadar, orang yang tidur sampai dia bangun, dan anak kecil sampai dia balig.” (HR. Nasa’i 3432, Abu Daud 4398, Turmudzi 1423, dan disahihkan Syuaib al-Arnauth)
Sekalipun ketika mimpi basah, seseorang melakukan perbuatan di luar batas dengan keanekaragaman warnanya, ini tidak dihitung sebagai maksiat. Sangat berbeda hukumnya ketika itu dilakukan dalam kondisi sadar, yang statusnya dosa besar.
Terkadang, mimpi yang dialami seseorang, penyebabnya adalah bawaan perasaan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرُّؤْيَا ثَلاَثٌ حَدِيثُ النَّفْسِ ، وَتَخْوِيفُ الشَّيْطَانِ ، وَبُشْرَى مِنَ اللَّهِ
“Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah.” (HR. Bukhari 7017)
Ini sangat mungkin terjadi, ketika ada seseorang yang selalu membayangkan, bersama orang yang dia kagumi. Bahkan sampai bayangan yang terlalu jauh. Hingga terbawa ke dalam mimpi.
Bayangan semacam ini, ketika dia berusaha menikmatinya, statusnya zina hati.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari 6243 dan Ahmad 7935).
Bayangan semacam ini bernilai dosa. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan zina hati. Meskipun ketika terbawa mimpi, tidak terhitung sebagai dosa dan maksiat.
Sehingga, ketika ada orang yang berharap bisa mimpi basah, namun diawali dengan membayangkan dirinya bersama orang lain, maka dia terjerumus ke dalam dosa sebelum tidur.
Dan biasanya, mimpi karena bawaan perasaan semacam ini, tidak selesai ketika tidur. Akan terus berlanjut, bahkan masih terbawa setelah bangun tidur. Akibatnya, akan memperpanjang zina hati yang dia lakukan.
Nah berharap untuk memiliki mimpi yang baik, pernah dilakukan oleh sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu.
Beliau pernah menceritakan,
Di masa hidupnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ada seseorang yang bermimpi, dia akan tanyakan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau akan menyampaikan takwilnya. Sampai aku berangan-angan agar bisa bermimpi yang baik, agar bisa aku ceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, aku masih remaja, belum menikah, dan aku tidur di masjid nabawi.
Suatu hari saya bermimpi, seolah ada dua malaikat yang mengajakku pergi untuk melihat neraka. Ternyata tempatnya sangat dalam, seperti sumur. Di sana ada pennghuninya, yang aku kenal. Kemudian aku mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah dari neraka…” diucapkan berulang-ulang.
Tiba-tiba datang malaikat yang lain, dan mengatakan, “Kamu tidak usah takut.”
Kemudian mimpi itu aku ceritakan ke Hafshah dan Hafshah menyampaikannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau hanya bersabda,
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, jika dia rajin shalat malam.” (HR. Bukhari 3738 & Muslim 6525).
Berangan-angan untuk memiliki mimpi, bukan hal tercela. Tentu saja bukan sembarang mimpi, tapi mimpi yang berarti, mimpi yang baik. Seperti mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mimpi yang bisa memotivasi untuk semakin taat kepada Allah.
Dan inilah yang selayaknya untuk dilakukan. Bukan membayangkan dan berangan-angan bisa mimpin ‘indah’. Karena terkadang, usai mimpi, bayangan itu bisa terus terbawa. Sehingga akan sangat mengganggu aktivitasnya.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, pernah ada pertanyaan semacam ini. Jawaban tim fatwa,
تمني الاحتلام فأنه لا ينبغي للمسلم أن يتمنى إلا ما فيه له فائدة حقيقية تعود عليه بالنفع في الدنيا أو الآخرة، وليصرف فكره عن مثل هذا التفكير وخصوصاً إذا كان تمني الاحتلام بشخص معين لأنه قد يكون وسيلة للافتتان به.
“Tidak selayaknya berangan-angan bisa mimpi basah. Karena seorang muslim tidak selayaknya berangan-angan kecuali dalam masalah yang ada manfaatnya, baik dunia maupun akhirat. Dia bisa alihkan pikirannya agar tidak berangan-angan semacam ini. Terlebih, berharap untuk bisa mimpi berhubungan dengan orang tertentu. Karena ini bisa menjadi sumber fitnah baginya.” (Fatwa Syabakah Islamiyah, 54841). []
Sumber:KonsultasiSyariah