PUASA sangat identik dengan sikap menahan diri. Bukan hanya tentang menahan diri dari makan dan minum, melainkan juga manahan diri dari maksiat baik itu yang tersirat dalam hati maupun yang terucap di lisan ataupun yang dilakukan dengan perbuatan. Salah satu hal yang sering disepelekan, padahal merupakan larangan dalam puasa adalah berbohong atau berdusta.
Larangan berbohong saat berpuasa disebutkan dalam hadits:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (zuur) malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)
Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin teranggap jelek jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu.
Jika termasuk larangan, apakah berbohong itu membuat puasa jadi batal?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah larangan haram, namun bukan termasuk pembatal puasa. Pembatal puasa hanyalah makan, minum dan jima’ (hubungan intim) di siang hari.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi, “Konsekuensi dari hadits tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya.” (Fath Al-Bari, 4: 117)
Al-Baidhawi menyatakan, “Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan memenej jiwa agar memiliki hati yang tenang. Jika tidak bisa melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasa tersebut.” (Fath Al-Bari, 4: 117)
Mengapa demikian? Sebab, berbohong atau dusta memiliki dampak buruk.
Pertama, berbohong memang teramat bahaya yang dapat mengantarkan pada sifat-sifat jelek lainnya.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)
Kedua, berbohong selalu menggelisahkan jiwa, berbedakan dengan sifat jujur yang selalu menenangkan.
Dari Al-Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1: 200. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Ketiga, berbohong merupakan tanda kemunafikan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no. 33)
Asy-Sya’bi berkata, “Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 493)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Dusta dapat mengumpulkan sifat kemunafikan.” (Ramadhan Durusun wa ‘Ibarun, hal. 39).
Demikianlah dampak buruk dari lisan yang berkata bohong. []
SUMBER: RUMAYSHO