MAKASSAR—Musim haji 1439 Hijrah telah berlalu. Rombongan jemaah haji Indonesia juga sudah kembai ke tanah air. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian dalam prosesi kepulangan salah satu rombongan jemaah haji, yakni jemaah asal Bugis, Makassar.
Hal ini diungkap akun Facebook Dyan Khautsar, Rabu (19/9/2018). Rombongan haji asal Mamuju, Sulawesi Selatan, membuat warganet riuh berkomentar di postingan akun tersebut. Kenapa? Karena dipostingan itu ditunjukan foto ibu-ibu berpakaian nyentrik yang baru mendarat dari Tanah Suci.
Warna pakaian yang mencolok dan perhiasan emas yang dikenakan rombongan ibu-ibu itu jadi kontroversi. Tak sedikit yang nyinyir. Namun, tak sedikit pula yang memeberikan pandangan dan penjelasan tentang hal ini.
BACA JUGA: Pemerintah Sediakan Santunan bagi Jemaah Haji yang Meninggal Dunia
“Ini klo ga salah Bugis Makassar, ibu-ibu ini bukan mau pamer atau berlebihan, tapi mereka seperti ini karena memang sudah dari jaman nenek moyang mereka yang turun temurun, adatnya mereka seperti ini, bentuk rasa syukur kepada Allah karena telah menunaikan kewajiban ibadah haji dan pulang degan selamat,” komentar salah satu warganet menjelaskan.
Bagaimana fakta sebenarnya?
Ibadah haji agaknya memang istimewa bagi orang-orang Bugis-Makassar. Bukan hanya saat kembali ke tanah air. Tradisi unik mereka juga sudah dilakukan bahkan sebelum tiba di Tanah Air.
Sebagian sudah mengikuti ritual yang dinamai ‘Mapatoppo’ di tenda-tenda maktab dan hotel-hotel penginapan di tanah suci.
Haji Muhammad Nurhalik, ketua Kloter 1 Embarkasi Makassar, menuturkan, selepas menuntaskan wukuf dan melontar jumrah serta melaksanakan tawaf ifadhah, kebanyakan jamaah Bugis-Makassar akan ‘diwisuda’ oleh para ahli agama. Sebagai ketua Kantor Kemenang Kota Makassar, Haji Nurhalik jadi salah satu yang ‘mewisuda’ jamaah.
Caranya, jamaah laki-laki akan dipakaikan kopiah dan jubah putih secara simbolik untuk menandakan perubahan status mereka. Sementara yang perempuan akan dipakaikan semacam tali emas di kepala dan leher mereka.
“Memang perempuannya paling heboh kalau dari Bugis-Makassar ini,” kata Haji Nurhalik setengah berkelakar.
Ritual sakral yang sudah sejak ratusan tahun lalu dilakukan itu, kata Haji Nurhalik, bukan tanpa alasan. Ia menekankan, ibadah haji memang perkara istimewa untuk suku Bugis-Makassar. Mereka yang pulang dari Tanah Suci semacam diangkat derajatnya di kampung halaman.
“Kalau ada pesta nikahan, misalnya, kursi-kursi depan itu hanya untuk haji dan hajjah saja,” ujarnya.
Sebab itu, menurut Haji Nurhalik, masyarakat Sulawesi Selatan kerap bersedia melakukan apapun untuk sampai ke Tanah Suci. Yang punya usaha, kata dia, rela hidup susah untuk mencukupi biaya ke Tanah Suci terlebih dulu.
Saat ini, kata Haji Nurhalik, di Makassar daftar tunggunya sudah mencapai 34 tahun. Untuk kuota 1.143 jamaah pertahun, kata dia, sudah sebanyak 37 ribu yang mendaftar.
“Bagi masyarakat Bugis-Makassar, berhaji itu cita-cita luhur. Mereka akan mempertaruhkan segalanya untuk naik haji,” kata dia.
Meskipun begitu, ia tak bisa memastikan bagaimana tradisi meninggikan jamaah haji itu bisa sedemikian meresap dalam kehidupan suku Bugis-Makassar.
Dalam buku Atlas Sejarah Indonesia Masa Silam(Bambang Budi Utomo, 2011) yang diterbitkan Dirjen Sejarah dan Kepurbakalaan Kemendikbud, catatan tertua soal perjalanan haji orang Bugis-Makassar datang dari masa Kerajaan Gowa pada pertengahan abad ke-16 saat mula-mula wilayah Sulawesi bersentuhan dengan Islam. Saat itu, pada masa kekuasaan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mametta Karaeng Bontolongkasa (1565-1590), pendatang mulai berdatangan dari kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Melayu, dan Ternate.
Pendatang-pendatang itu, utamanya dari puak Melayu, kemudian menyiarkan Islam di Gowa baik dengan dakwah maupun kawin campur. Saat jumlah Muslim mulai banyak, Raja Gowa XII yang sendirinya belum masuk Islam memerintahkan warganya yang Muslim menunaikan ibadah haji. Orang-orang Melayu di Gowa diminta memfasilitasi kepergian haji warga Bugis-Makassar tersebut.
BACA JUGA: Ini Daftar 92 Jemaah Haji yang Wafat di Musim Haji 2018
Kepergian haji warga Bugis-Makassar saat itu kemudian juga jadi semacam misi diplomatis. Mereka jadi perekat persahabatan Gowa dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara seperti Mataram, Johor, Melaka, Pahang, Blambangan, Pattani, Banjar, dan Ternate-Tidore. Artinya, ibadah haji saat itu sudah punya kaitan dengan kebangsawanan buat orang-orang Bugis-Makassar.
Suku Bugis-Makassar juga sudah lama ternama sebagai para pelaut ulung yang sigap mengarungi lautan. Di masyarakat yang sedemikian, apalagi pada masa lalu, keberanian mengarungi lautan hingga ke tempat-tempat jauh seperti ke Arabia sangat mungkin jadi standar keberanian dan ketokohan.
Bagi mereka, ibadah haji bukan sekadar ritual. Ibadah haji juga penanda sudah sejauh mana mereka melangkah, atau berlayar, atau terbang, untuk memenuhi panggilan Tuhan agar jadi Muslim dan Muslimah yang paripurna. Ibadah haji jadi alasan untuk pergi jauh dan akhirnya kembali sebagai manusia-manusia yang baru. []
Sumber: IHRAM-REPUBLIKA | LIPUTAN6