Oleh: Salim A Fillah
SEJAK dulu, banyak orang Amerika sendiri yang mencibir proyek-proyek antariksa NASA. Berpuluh tahun milyaran dolar dibuang ke luar angkasa tanpa hasil nyata yang bisa dinikmati manusia, kata mereka.
Tapi seorang profesor terkemuka dari Carnegie-Melon University yang mati muda karena kanker pankreas, Randy Pausch, memberi catatan menarik dalam kuliah terakhir menjelang wafatnya yang dibukukan dan difilmkan dengan tajuk “The Last Lecture.”
“Yang telah diberikan NASA kepada anak kecil seusiaku saat itu adalah sebuah WOW,” ujarnya. “Kita bisa ke bulan. Kita bisa menjelajahi langit yang penuh bintang. Inspirasi seperti itu telah menggerakkan berjuta anak Amerika, bahkan seluruh dunia untuk mencapai apa yang mereka capai sekarang. Ya, harganya milyaran dolar. Tapi itu sangat sebanding dengan jutaan anak yang bisa bermimpi dan berjuang mewujudkan mimpi mereka.”
BACA JUGA:Â Kisah Pria yang Meninggal saat Sujud di Baitullah
Yang mercusuar diperlukan untuk memandu masa depan.
Agaknya saya punya harapan serupa bagi anak Indonesia, dalam bentuk yang lebih sederhana. Ada beberapa tentu, tapi poin kali ini adalah Imam Masjidil Haram.
‘Ulama Nusantara punya sejarah kedudukan terhormat di Tanah Suci. Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khathib Al Minankabawy, dan Syaikh Junaid Al Batawy yang menjadi Imam Masjidil Haram, hingga para khathib, pengajar, dan penulisnya yang penuh dedikasi seperti Syaikh Mahfuzh At Tarmasy, Syaikh ‘Abdush Shamad Al Falimbani, Syaikh Khathib Sambas, Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, Syaikh Baqir ibn Nur Al Juqjawi, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Nahrawi Al Banyumasi, dan puluhan nama lain hingga masa akhir Syaikh Muhammad Yasin Al Fadani.
Tentu memang saat ini Kerajaan Arab Saudi mengatur agar yang menjadi Imam di Haramain hanya yang berstatus warga negaranya sahaja. Tetapi di masa depan, kita dapat berharap ada perubahan. Selain Arab, komunitas muslim dunia yang terbesar kini justru berbahasa Urdu dan Indonesia-Melayu.
Alkisah, beberapa dasawarsa lalu seorang pemuda Arab diusir keluarga besarnya karena menikahi seorang perempuan Pakistan yang dianggap tak sepadan. Lelaki ini bersama istrinya lalu mendidik putra mereka menjadi seorang ‘Alim yang Hafizh lagi merdu suaranya. Kini, sang putra diangkat menjadi salah satu Imam Masjidil Haram paling favorit. Maher Al Mu’aiqly namanya. Kebanggaan bagi kakek yang dulu pernah menundung ayahnya.
Barangkali cita saya agar akan ada lagi Imam Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan bahkan Masjidil Aqsha yang berasal dari Nusantara belum tampak fajarnya. Tapi saya pernah menitipkan ini pada Menteri Agama kita untuk disampaikan pada Kerajaan melalui Pengetua Para Imam Haramain Syaikh ‘Abdurrahman As Sudais. Saya yakin, ini bukan hanya soal kebanggaan sebagai bangsa, tapi inspirasi penuh cahaya bagi anak-anak kita.
BACA JUGA;Â Pelajaran Berharga dari Kisah Ibrahim dan Hajar
Para ayah dan para ibu, setidaknya citakanlah anak-anak kita menjadi pemakmur rumah Allah. Karena satu-satunya ambisi seorang ibu bagi anaknya yang saya temukan sampai dinadzarkan dan dipuji dalam Al Quran, adalah agar bayi dalam kandungan menjadi pemimpin keshalihan dan pelayan ibadah di rumahNya.
“Ingatlah ketika istri ‘Imran berkata, ‘Duhai Rabbku, sungguh aku nadzarkan padaMu janin dalam kandunganku untuk menjadi muharrar, orang yang shalih lagi berkhidmah di Baitul Maqdis, maka terimalah nadzar dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Ali ‘Imran: 35)
Tiga hari yang lalu, menerima kenang-kenangan dari salah satu Imam Masjidil Haram, Syaikh Faishal Ghazzawy, saya berdoa bahwa kelak Nawwaf Muharrik Fillah atau adik-adik dan kawan seangkatannya menjadi bagian dari muharrar, para Imam yang beribadah dan melayani ibadah di ketiga Masjid Suci. Allaahumma Aamiin. []