Oleh : Soraya Shahab, S.Kep.
mabdagabek000@gmail.com
DUNIA adalah tempat ujian. Tak hanya berupa kekurangan dan kesempitan hidup, tapi juga kelapangan dan kesenangan.
Tak selamanya kekurangan dan kesempitan menjadi penjara atau pertanda tak sayangnya Allah kepada manusia. Karena ada hikmah dalam setiap takdir yang Allah gariskan. Seiring dengan berjalannya waktu akan dirasakan dan diketahui hikmahnya, jika disertai dengan sikap husnudzhan dan bersyukur.
Justru ujian implisit lebih sering menjerumuskan. Harta yang banyak, pasangan hidup dan anak-anak yang diidamkan, tempat tinggal yang mapan, waktu yang luang serta fisik yang menawan.
Semua ini jika tak disikapi bijak justru akan menghancurkan dan menghinakan manusia di hadapan Allah. Acapkali sebagian dari manusia ketika diberi kelapangan justru tak bahagia. Nikmat justru menjadi bencana. Tak merasa ada ketenangan.
Bahkan tak jarang membuat manusia rela mengkhianati hukum Allah dan bertindak zalim.
BACA JUGA: Level 7 atau 8, Ujian Paling Sulit
Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan hal ini dalam sabdanya: ”Hati-hatilah kalian dari pesona dunia dan hati-hatilah dari goda rayu wanita.” (HR. Ad-Dailami).
Pun hadits yang lain,: ”Zuhudlah pada dunia, Allah pasti akan mencintaimu dan zuhudlah (tidak berkeinginan) pada apa yang ada di tangan manusia, pasti manusia mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah).
Ketika seseorang dalam kondisi kekurangan, ia berangan-angan. Jika mendapat harta yang banyak, ia akan naik haji, bersedekah, membayar utang, beraqiqah, menunaikan hak orang tua dan sebagainya.
Namun, ketika dianugerahi harta, ia merasa khawatir hartanya akan habis. Muncullah ‘hitungan’ ruwet tatkala harta itu akan dibelanjakan. Terbitlah sifat bakhil dan tamak yang kadang beda tipis dengan sikap ‘bijak’ dalam membelanjakan harta.
Begitupun, sifat jumawa seringkali menyertai tatkala amanah materi dan jabatan dititipkan. Tanpa sadar kadang merendahkan dan ingin mengatur orang lain sesuka hati.
Merasa harus dipatuhi, berhak atas hak orang lain tanpa memperhatikan perasaannya. Menempati suatu jabatan, bisa meningkatkan naluri baqa’ seseorang. Entah itu jabatan formal di kantor, masyarakat, bahkan pemimpin dalam keluarga.
Semuanya berpotensi menjadi ujian jika tak hati-hati. Senioritas tanpa ketundukan kepada agama telah lama menjadi alat legitimasi kezaliman, penindasan dan kesewenang-wenangan.
Padahal memasung hak orang lain adalah tindakan zalim. Hal ini sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab ‘tertampar’ dengan protes seorang wanita terkait dengan pembatasan mahar. Mendengar hal ini, sang Khalifah meminta ampunan atas ucapannya. Begitulah Umar, tegas namun tunduk terhadap al-Haq.
Pun, memaksa seseorang melakukan apa yang tidak disenanginya dalam koridor yang seharusnya syara’ memberikan pilihan juga adalah zalim. Misalkan, menyuruh istri bekerja padahal ia enggan.
Khalifah Harun Ar Rasyid pernah ditegur seorang ahli zuhud bernama Bahlul ra. Beliau berkata, “Amirul Mukminin, ada seseorang yang menceritakan kepadaku dari Qudamah ra, bahwa ia melihat Rasulullah ﷺ pergi berhaji di Mina dengan mengendarai seekor unta dengan pelana sederhana di atas punggungnya, tanpa menghalau orang-orang atau menyingkirkannya ke tepi jalan, dan tanpa berkata, awas menepilah, Rasulullah ﷺ akan lewat. Wahai Amirul Mukminin, akan lebih baik bagimu jika engkau juga berkendaraan dengan rendah hati, bukannya dengan keangkuhan.”
Mendengar perkataan Bahlul, khalifah pun menangis dan membenarkannya.
BACA JUGA: Doa Nabi Khidir Kala Menghadapi Ujian dan Cobaan
Begitulah ujian manusia. Yang terpenting adalah mengenalinya dan merespon dengan apa yang diperintahkan syara’. Ujian seharusnya membawa pada introspeksi diri dan sabar. Bukan sebaliknya, merasa ditinggalkan Tuhannya, sehingga menjerumuskan dirinya pada kemaksiatan. Nauzubillah.
Allah SWT berfirman :
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘kami telah beriman, dan mereka tidak diuji?” (Surat Al Ankabut ayat 2)
Wallahu a’lam bish-shawabi. []