Di dalam kehidupan bermasyarakat, alangkah baiknya manusia saling menjaga kerukunan antar sesama.
Oleh karena itu, apabila terjadi suatu permasalahan, muncul sebuah kekhilafan. Maka, alangkah baiknya diselesaikan dengan ‘kepala dingin’. Berdialog secara baik-baik.
Islam tidak mengajarkan yang namanya mengumpat, menghina, mencerca, memaki, mengejek, mengadu domba bahkan merendahkan orang lain.
Contoh yang sederhana saja. Kerap sekali kita mengatakan orang yang tulisannya jelek: “Tulisan cakar ayam!” Bila tidak memakai sepatu: “Dasar kaki ayam!” Jika tampak semangat cuma diawal-awal: “Paling panas-panas taik ayam!”
Lihat, betapa mudah manusia menilai seseorang. Bak hewan. Memang apa salah si ayam? Sampai tega namanya disalah artikan. Bahkan ketika kita ingin menggoreng telornya saja–setengah matang–kita katakan, “Telor mata sapi.” Sungguh adilkah diri kita?
Padahal, si sapi sudah rela disembelih oleh manusia. Dijadikan lauk makanan. Maka kata rasulullah, “Jika kamu ingin menyembelih sesuatu, lakukanlah dengan sebaik-baik sembelihan.”
Mendingan bila satu ekor ayam kita beli. Lalu dipotong–setelah itu digoreng–langsung dimakan. Resep ini lebih efektif menganjal perut ketika lagi kosong. Ketimbang mengata-ngatain orang yang tidak baik.
Dan perlu kita ketahui, saudaraku seiman dan setakwa. Bahwa, di dalam peristiwa ini, ada dua pihak yang terdzalimi oleh sikap kita. Satu, ayam. Yang kedua, baru lawan kita bicara.
Bayangkan, dua macam makhluk sekaligus kita cerca, hina, maki, ejek, dsb. Betapa tidak, doa-doa yang seperti mereka itu mudah dikabulkan oleh Allah SWT.
“Berhati-hatilah kamu kepada doa orang yang terdzalimi.” []