HUTANG itu tak semuanya berupa uang. Bisa hutang, barang, sandang, pangan, dan lai sebagainya. Itulah kita kita itu merasa kurang akan ilmu. Tapi kita seringkali gengsi mencari ilmunya itu.
Apakah kita punya hutang pada seseorang? Jangan main-main dengan hutang! Bayarlah hutang sebelum kita meninggal dan menjadi beban, jangankan di akhirat, di dunia pun pasti seperti sering kita rasakan kalau punya hutang yang tidak terbayar. Dalam keseharian, selama ini kita hanya mengenal hutang uang atau hutang budi. Sesungguhnya, hutang yang harus kita bayar pada orang lain itu ada lima jenis seperti diuraikan di bawah ini dengan simbol-simbol istilah dalam bahasa Sunda.
1. Hutang Barang (Hutang uang dan barang)
Hutang barang adalah hutang yang harus kita bayar pada seseorang berupa uang, benda atau materi. Hutang barang adalah hutang yang jelas transaksinya. Hutang ini harus dibayar sesuai jenisnya. Hutang uang ya bayar dengan uang, barang dengan barang, atau sesuai kesepakatan yang saling meridhai. Bila tidak dibayar? Jelas, beban siksaan akan melanda kita di dunia apalagi di akhirat. Di dunia rizki akan seret, hidup tidak nyaman, dikejar-kejar atau mungkin berurusan dengan kekerasan atau hukum. Di akhirat, si penghutang akan menagih kita di yaumul hisab.
2. Hutang Tambang (Hutang perbaikan diri)
Tambang adalah tali yang panjang. Hutang tambang adalah hutang yang berkaitan dengan perjalanan hidup kita yang panjang. Dalam bentangan hidup kita yang panjang, ada saat-saat kita mengalami perbaikan diri, perubahan kesadaran menjadi lebih tinggi, kemajuan, peningkatan ekonomi atau prestasi, yang itu semua karena jasa seseorang membimbing atau menasihati kita. Bila kita mengalami ini, kita hutang tambang pada orang tersebut. Hutang ini juga harus dibayar. Bayarlah utang tambang kita dengan kebaikan, silaturahmi, tidak melupakannya, mengingat jasanya, berkirim salam atau berkirim sesuatu kalau kita sedang ada rizki. Inilah kesadaran Muslim yang tinggi. Bagaimana kalau utang tambang tidak dibayar? Secara hukum tidak ada-apa. Tapi, akibatnya kualitas hidup kita rendah, kualitas kesadaran kita tidak ada peningkatan. Dan, akibatnya, bila kita menanam kebaikan pada orang, orang itu pun Insya Allah tidak akan mengingat dan membalas kebaikan kita.
3. Hutang Ngabungbang (Hutang nasehat agama)
Hutang yang berkenaan dengan perubahan kesadaran ibadah dan ritual agama. Saat-saat tertentu, ibadah kita mengalami peningkatan karena penyadaran yang diberikan oleh seseorang (guru, kiyai, orang tua, teman dll). Kita menjadi lebih shaleh, lebih taat pada agama karena bimbingan orang lain. Kepada orang seperti ini kita hutang ngabungbang. Jangan dianggap kita tidak punya utang pada orang seperti itu. Bagaimana cara membayarnya? Bayarlah dengan kebaikan kita pada orang tersebut, atau dengan melakukan hal yang sama pada orang lain yaitu memberikan penyadaran agama agar kesadaran ibadah orang lain meningkat sehingga kebaikan menyebar. Bagaimana kalau hutang ngabungbang tidak dibayar? Kesadaran kita kurang bermanfaat, tidak dirasakan orang, hanya untuk diri sendiri saja. Orang lain pun tidak akan membayar jenis hutang ini kepada kita. Kualitas kesadaran kita tidak meningkat, kita menjadi manusia yang kesadarannya rendah.
4. Hutang Sayang(Hutang dorongan memiliki rumah)
Sayang (Sunda: sangkar, rumah, tempat tinggal). Hutang sayang adalah hutang kita pada seseorang berkaitan dengan pembangunan tempat tinggal. Kita menjadi punya rumah karena nesehat, dorongan dan bantuan orang lain (teman, sahabat, tetangga, senior, saudara, guru) baik berupa moril maupun meteril. Kepada mereka itu kita punya hutang sayang. Bayarlah hutang sayang dengan mengunjunginya dan mengucapkan terima kasih. Atau dengan menolong orang lain juga yang belum punya rumah agar memilikinya.
5. Hutang Tarang (Hutang ilmu)
Tarang itu artinya jidat, simbol fikiran. Utang tarang adalah utang ilmu kita pada seseorang karena ia mendidik kita, mengajari kita, memberikan ilmu dst. Hutang tarang kita adalah pada guru, kiayi, dosen, dan siapa saja yang mengajarkan ilmu pada kita. Membayar hutang tarang adalah dengan cara mengamalkan ilmu yang diajarkannya itu agar bermanfaat kepada diri kita, dan mengajarkannya juga kepada orang lain seluas-luasnya. []
Sumber: Endang Somalia dan Moeflich Hasbullah dalam Kitab Paradigma Hikmah Lima