Oleh: Ahmad Fahrur Rozi
Mahasiswa penerima beasiswa PBSB Kemenag RI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
SERING kali kita dihadapkan dengan dua kalimat yang saling kontradiktif dalam sebuah pemaknaan yang sempit yaitu, kalimat jihad dan toleransi. Kedua kalimat sering pula dipahami dengan perspektif makna kata yang berlawanan satu sama lain sehingga unsur substansial yang terkandung dalam dua kalimat tersebut seakan hilang dari kontruksi pola pikir masyarakat luas.
Publik sosial sering mengaitkan dua kalimat tersebut ketika terjadi benturan konlfik antara religius dengan sosial ataupun sering mengaitkannya pula dengan isu-isu radikalisme, terorisme, ataupun isu-isu yang lain yang dapat mengganggu kesejahteraan dianamika kehidupan sosial.
Fakta realitas yang ada ialah menjadikan dua kalimat tersebut sebagai kata kunci dari adanya wujud patologi sosial, yakni dimana ketika berhembus suatu kabar yang berkaitan dengan jihad kemungkinan besar pula dalam hal tersebut muncul kalimat toleransi sebagai “penyangga” ataupun “penyangkal” dalam isu tersebut, khususnya dalam dimensi agama dan sosial. Padahal menurut hemat penulis dua kalimat tersebut merupakan dua kalimat yang saling sinergis satu sama lain dalam wujud manifestasi yang diharapakan dari kedua unsur kalimat tersebut.
Secara artian luas manifestasi dari kalimat jihad itu sendiri ialah respon dari kontekstualisasi sikap toleransi dan begitu pula sebaliknya, dimana jika seseorang berbesar hati menerima sebuah perbedaan yang merupakan sunnatullah dengan wujud dari sikap toleransi tersebut, pada hakikatnya ia telah mengimplementasikan konsepsi makna jihad itu sendiri. Karena dia bisa menahan amarah egoisme dirinya untuk kepentingan sosial dengan sikap menerima, menghargai, mengagngap perbedaan tersebut, serta menghilangkan sikap apologisme (truth claim) yang ada pada diri setiap insan.
Perspektif ini menurut hemat penulis selaras dengan hadist Nabi Muhammad yang artinya “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjuang (berjihad) melawan dirinya dan hawa nafsunya” (HR Ibn Najjar dari Abu Dzar Radiyallahu anhu). Dalam hadist yang lain dikatakakan, “Seorang Mujahid adalah yang berjuang melawan hawa nafsunya” (HR Ibn Hibban dari Fadhalah bin Ubaid)
Hadist tersebut mengandung tentang makna jihad yang sering termarginalisasikan makna luasnya yakni, berjihad melawan egoisme atau hawa nafsu merupakan salah satu wajud jihad yang terbesar dan mulia, yang dapat direpresentasikan dengan wujud sikap toleransi dalam dinamika kehidupan sosial.
Yusuf Qardlawi menjelaskan konsep jihad yang cocok dalam era kontemporer sekarang ialah jihad sebagai masayarkat madani yang terbagi dalam enam elemen pokok konsep jihad itu sendiri yaitu jihad di bidang ilmu, sosial, ekonomi, pendidikan (tarbawi), kesehatan, dan lingkungan. Menurut Ibnul Qayyim pelbagai konsep jihad diatas ialah sebuah konsep yang didasarkan atas dalil-dalil syar’i yaitu, Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan didasarkan pula pada tujuan-tujuan syariah.
Pelbagai variasi konsep jihad tersebut dapat terealisasikan dengan wujud rasa saling menghormati dan mengahrgai antar individu ataupun kelompok. Serta unsur penting yang ada dalam makna luas jihad ialah menghilangkan sikap fanatisme (ta’asshub) antar golongan, sehingga kontekstualisasi dari sikap toleransi dapat terwujudkan dalam usaha menjaga stabilitas, integrisitas, dan egeliterisme kehidupan sosial yang multikultural.
Adanya sikap toleransi dengan sesama secara tidak langsung dapat menjaga akhlak etika dalam relasi manusia sebagai mahluk sosial, kedamaian akan tercipta, dan konfilk akan terputus dengan adanya sikap tersebut. Jika setiap individu mengaplikasikan hal tersebut maka dia secara tidak langsung telah melakukan sebuah perjuangan (berjihad) baik dengan dirinya dan juga dengan individu-individu yang lain.
Dekontruksi tentang interpretasi dua kalimat ini sangatlah diperlukan, dengan harapan ketika mendengar dua kalimat tersebut kita tidak langsung menjastifikasinya dengan sebuah perkara yang radikal, ekstremis, ataupun hal-hal yang membuat keresahan bagi dinamika sosial. Akan tetapi dua kalimat tersebut merupakan dua komponen kata yang saling sinergis dan relevan dalam sebuah dimensi kebaikan, hususnya dalam dimensi teologis dan sosial. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.