Oleh: Andi Damis Dadda
Alumni Program Pascasarjana (S2) STISIP Muhammadiyah Rappang
“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah; 22).
TERJADINYA hujan, berdasarkan konsep siklus hidrologi, bermula dari proses penguapan air laut, yang diangkut oleh udara yang bergerak. Lalu uap air menjadi padat membentuk awan, kemudian jatuh ke bumi sebagai air hujan. Di permukaan bumi, air hujan menempuh berbagai jalan.
Sebagian air hujan menyelusup masuk ke dalam lapisan tanah, dan sebagian tertahan di atas permukaan yang tertampung di berbagai tempat atau media, seperti danau, waduk, sawah, kolam, dsb, atau bergabung bersama aliran sungai, dan mengalir menuju ke laut, selanjutnya menguap lagi.
BACA JUGA: Terpercik Keberkahan Hujan
Air hujan menjadi kebutuhan bagi manusia, dan cukup vital bagi petani, utamanya pada sawah tadah hujan. Sama halnya dengan manusia, maka padi tak dapat hidup tanpa air. Bahkan semua makhluk sangat bergantung pada air. Dimana sawah membutuhkan volume air hujan yang cukup banyak untuk memastikan, bahwa padi yang ditanam, tidak akan kekeringan hingga berbuah.
Oleh karena itu, biasanya petani tradisional, dibekali ilmu mengenai prakiraaan hujan dengan membaca pergerakan bintang di langit. Sehingga bisa “memprediksi” intensitas hujuan permusim tanam.
Namanya juga prakiraan, sudah tentu akan terpengaruh pada unsur ketidakpastian. Untuk itu, para petani mengantisipasi ketidakpastian tersebut dengan menyiapkan sumur bor, yang memompa air dari dalam perut bumi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semakin pesat saat ini, telah mengantarkan manusia pada tahap kepintarannya mengelola sumber daya alam dengan cara lebih gampang. Termasuk kemampuan teknologi buatan manusia memprediksi berbagai gejala-gejala alam yang mungkin terjadi.
Walaupun belum mampu membaca musibah yang akan terjadi. Karena urusan musibah, adalah sepenuhnya otoritas Tuhan. Makanya, ketika musibah menimpah segeralah mengingat Allah SWT. seraya berucap; “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami akan kembali.
Tentu bukan kesalahan air hujan sehingga terjadi banjir bandang, sebagaimana tidak bersalahnya air laut sehingga terjadinya gelombang tsunami. Karena air hujan dan air laut, merupakan karunia, bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Keduanya diciptakan Tuhan untuk menjadi sarana memenuhi kebutuhan manusia sebagai khalifah di permukaan bumi ini. Sehingga boleh jadi musibah itu terjadi, karena kesalahan tindakan khalifah itu sendiri mengelola alam ini, yang tidak lagi mengimani petunjuk kekhalifahan yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, justru lebih percaya pada pikirannya.
BACA JUGA: Berguru pada Hujan
Tindakan itu telah diperingatkan Allah SWT. dengan FirmanNya; “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan tangan manusia, agar merek kembali (ke jalan yang benar.”
Sebagai salah satu sumber air, maka air hujan memberikan manfaat yang begitu banyak bagi kehidupan manusia. Sehingga ketika orang disuruh memilih antara musim hujan atau musim kemarau, tentu sebagian besar, sebelum menyebut seluruhnya, akan memilih musim hujan. Oleh karena itu, ada shalat istisqa atau shalat meminta hujan, bila musibah kemarau panjang melanda.
Karena keberlangsungan kehidupan makhluk hidup terancam kekeringan. Karena kebakaran terjadi dimana-mana. Karena kemarau panjang, tidak dapat dicegah oleh kemajuan teknologi, bahkan yang tercanggih yang diciptakan manusia. Karena itu manusia perlu pertolongan Tuhan, memohon berkah dari Yang Punya Langit.
Allah SWT. berfirman dalam Surah Qaf, Ayat 9; “Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen”.
Itulah berkah air hujan. Sebagai nikmat yang diberikan Sang Maha Pencipta, kepada hambaNya. Maka sungguh beruntunglah kita semua, sekiranya senantiasa mensyukuri nikmat itu, dan memperbanyak istighfar atas segala kelalaian yang telah dilakukan. Karena hanya dengan memperbanyak permohonan ampunan, yang dapat mencegah bencana, dan menjadi penyebab turunnya karunia, serta merupakan jaminan keamanan dari Allah bagi hambah-hambaNya. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati.
Abu Musa Al-Asy’ari, menuturkan, bahwa kita mempunyai dua pengaman dari siksa, salah satunya telah pergi, yaitu keberadaan Rasulullah SAW. di tengah-tengah kita, tinggal istighfar bersama kita. Jika istighfar pun pergi, maka binasalah kita.
Sungguh jelas FirmanNya dalam Al-Qur’a, Surah Al-Anfal, Ayat 33; “Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampun”.
Selanjutnya dalam Surah Nuh, Ayat 9-12, Allah SWT. Allah SWT. berfiman; “Kemudian aku menyeru secara terbuka dan dengan diam-diam, maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan sungai-sungai untukmu.”
Itulah berkah air hujan. Sebagai kabar gembira akan datangnya reski yang penuh berkah. Tapi, memang kita harus lebih banyak berbenah dan memohon ampunanNya. Karena hati kita sering lalai. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.