Oleh: Enzen Okta Rifai
Pendidik dan pengasuh di Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan)
oktaenzen@gmail.com
KEIMANAN manusia memang fluktuatif, kadang naik dan kadang turun. Kadang merasakan nuansa dekat dan kadang merasa jauh. Kadang dalam limpahan kekayaan dan kadang dalam kemiskinan. Kadang dalam keadaan sehat kadang juga sakit. Bagi orang yang memiliki kekuatan iman, seluruhnya tidak lepas dari kebersamaannya dengan Allah. Ia senantiasa memohon untuk harapan dan keselamatan dirinya dan manusia lain, juga tak lupa bersyukur atas limpahan nikmat yang dianugerahkan kepadanya.
Mari kita berpijak di jalan yang benar, percaya pada janji dan keadilan Allah. Sebagaimana sabda Nabi, jika kita sudah benar dalam kalbu dan hati nurani, niscaya kita akan terampil dalam urusan lahiriah. Tak perlu kita saling curiga dan mendengki, sebab belum sempurna keimanan seseorang manakala ia berkeinginan agar saudaranya – sebangsa dan setanah air – tidak mencapai apa-apa yang dikehendakinya.
Jangan sampai kesempurnaan iman terhalang oleh ego dan kehendak pribadi yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kita ingin saudara kita senang, sebagaimana kita menginginkan diri kita senang. Kita ingin ia bahagia sebagaimana kita juga ingin bahagia. Bersikaplah bijak, arif dan pemaaf, sebagaimana kita ingin agar Allah memaafkan diri kita.
Ketika manusia mencintai dirinya, seumumnya mereka akan memakai pakaian terbaik, makanan terlezat, tempat tinggal paling elok dan harta yang melimpah. Lalu, mengapa kita tidak menginginkan seperti itu bagi saudara-kerabat maupun sahabat kita sesama kaum beriman? Padahal, kita tak ingin dikatakan sebagai “pendusta agama”, bahkan di antara kita justru mengaku-ngaku telah sempurna iman kita?
Di bulan Ramadan penuh rahmat dan maghfirah, selaiknya bangsa ini banyak melakukan introspeksi diri. Perhatikan tetangga kita yang miskin, sementara kita punya harta berkecukupan. Setiap saat kita bisa memetik laba dari usaha kita, kadang berlebih dari sekadar kecukupan hidup sehari-hari. Mengapa kita menghalangi diri untuk membantu si dina-lemah-miskin, pada saat ia tetap rela dengan kekurangannya? Mengapa kita terpengaruh oleh hawa nafsu dan bisikan iblis, hingga membuat kita sulit berbuat baik terhadap sesama? Mengapa ambisi pada kekuasaan terus bergolak, sementara keimanan dibiarkan semakin menipis dari kalbu kita?
Siapa saja yang mengumbar kesenangannya pada dunia, ambisinya akan liar sampai-sampai lupa maut, bahkan lupa akan bertemu dengan Tuhan. Orang seperti itu akan sulit membedakan mana yang halal dan yang haram. Tiada henti-hentinya pada obsesi duniawi sampai sang waktu yang menghentikannya. Jikalau tidak dihentikan oleh kelemahan dan keterbatasan fisiknya, orang berjiwa lalim dan tiran akan semakin liar melebihi liarnya binatang-binatang buas.
Perhatikan para pejabat korup itu, puasa di siang hari, tetapi berbuat lalim di malam hari. Mereka mencegah diri untuk makan-minum di siang hari, tetapi kemudian berbuka dengan darah rakyatnya sendiri. Bagaimana mungkin orang seperti itu mampu meresapi makna yang terkandung dalam puasa? Ramadan hanya dijadikan rutinitas formal yang dianggap sebagai tradisi belaka? Sudahkah puasa kita diperuntukkan bagi Tuhan hingga meningkat rasa empati kita terhadap kaum dina-lemah-miskin?
Tidak sepantasnya orang mengaku-ngaku beriman, berbuka puasa sampai kenyang, sementara ada tetangganya yang kelaparan. Janganlah di antara kita berkenyang-kenyang sendirian, karena dikhawatirkan kita terjatuh dalam pailit dan kesempitan. Sangat mudah bagi Allah untuk memberikan kejutan berupa kenikmatan dan keberuntungan, sebagaimana mudahnya Ia memberikan kejutan untuk kebangkrutan dan kemelaratan. Karena itu waspadalah, sebab iman kita tidak sah apabila seenaknya menolak si miskin, sementara kita dalam keadaan berkelimpahan makanan.
Banyak acara pengajian (tadarus) digelar sepanjang bulan Ramadan. Ada yang bertarif mahal, murah, dan ada juga yang sukarela mengadakan karena panggilan hatinya. Tetapi, tidak sedikit dari para mentor pengajian itu yang belum memahami penjiwaan tentang makna Alquran itu sendiri. Terlalu banyak yang menitikberatkan pada pahala dan ganjaran mengaji ketimbang menghayati dan mendalami esensi yang terkandung di dalam kitab suci.
Seorang ulama NU, Said Aqil Siroj menegaskan betapa pentingnya umat Islam Indonesia mendahulukan pendalaman (tadabbur) tentang makna yang terkandung di dalam kitab suci, bukan hanya mengaji secara lateral dan harfiah belaka. Karena, hanya melalui pendalaman, makna Alquran dapat berefek positif ke dalam tingkah laku dan perbuatan, bukan semata-mata tadarus secara seremonial yang tidak ada dampaknya sama sekali.
Apabila kita sibuk berdalil tentang pahala dan ganjaran membaca kitab suci, sambil mengabaikan penafsiran luhur yang dapat diaplikasikan ke dalam karakter bangsa, bukankah dengan demikian seakan ada pemisahan antara keselamatan hidup di dunia dengan di akhirat kelak? Bukankah keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia ini identik dengan keselamatan hidup di akhirat juga? Lalu, sasaran apa yang hendak dicapai dari kesibukan atau kefasihan lomba pengajian (tadarus), bila seusai Ramadan dan lebaran, tetap saja menjadi manusia-manusia pendengki yang saling mencemooh dan mendiskriditkan yang satu kepada yang lainnya.
Jika masyarakat mempraktikkan ritual agama di satu sisi, sementara bersikap pembenci dan anarkis di sisi lain, lalu di manakah letak keterhubungan antara kesantunan yang menjadi esensi agama, dan dipraktikkan oleh teladan moral Nabi Muihammad?
Sebagaimana pendahulunya Nabi Isa, Nabi Muhammad juga aktif memberikan pengajaran kepada umatnya. Ia gemar memberi orang yang meminta dengan tangannya sendiri. Ia memerah sendiri air susu onta, memerah susu kambing, bahkan menjahit bajunya yang berlubang. Bagaimana kita mengaku mengikuti jejak-langkah Nabi, sementara sikap dan amal kita berseberangan, baik dalam tindakan, ucapan maupun perbuatan? Berarti kita telah membuat pengakuan tanpa bukti? Kalau kita mengaku sebagai umat beragama dan berpancasila sejati, mengapa kita tak sanggup menahan diri untuk tidak terlibat dalam prasangka buruk, ujaran kebencian, hoaks dan fitnah-fitnah kolektif yang bertaburan di sana-sini?
Adakalanya kita rajin dan tekun beribadah secara syariat, tetapi di sisi lain masih saja gemar melanggar larangan-larangan Allah. Oleh karena itu, mari kita jadikan momentum Ramadan ini sebagai ajang menempa diri dari kekuasaan syahwat dan hawa nafsu duniawi. Pedulilah kepada sesama, hingga Allah pun senantiasa peduli kepada kita.
Cintailah orang yang ada di muka bumi, sampai akhirnya mencintai kita mereka yang ada di langit. Sepanjang diri kita mementingkan syahwat kekuasaan, kita akan sulit mencapai derajat setinggi ini. Sepanjang kita memelihara hasrat dan kesenangan duniawi, kita akan berada dalam tali ikatannya, dan mencegah kita untuk sampai ke jalan Allah.
Kadang kita merasa riskan melihat ulah para politisi dan penguasa sibuk membangun dunianya sendiri, sementara di sisi lain mereka berancang-ancang merobohkan bangunan yang didirikannya. Sungguh dramatik terjadi di sekeliling kita akhir-akhir ini, orang yang menunda keakraban dirinya dengan Allah, karena ia lebih mencintai aksesoris duniawi yang memabukkan.
Seorang ulama terkemuka, Lukmanul Hakim memberi nasihat kepada seorang puteranya: “Wahai anakku, sebagaimana waktu sakit, kamu tidak tahu bagaimana tiba-tiba datangnya penyakit. Begitu pula dengan kematian, ia akan datang secara tiba-tiba tanpa kita ketahui kapan, di mana, dan bagaimana kita mati. Janganlah kamu terlena dengan kesibukan duniawi. Sebentar lagi kamu tua, dan dunia sudah tidak ada gunanya lagi. Bahkan, semua yang kamu kumpulkan akan jadi beban bagimu.”
Semestinya kita konsisten menjalankan amanat Allah, hingga tak gentar untuk menyatakan keadilan dan kasih sayang-Nya. Sampaikan nilai-nilai kebaikan ini pada seluruh manusia. Meskipun hanya sedikit orang yang mengajak di jalan kebaikan, tetapi jadikanlah opini ini sebagai bukti dan argumen bahwa orang yang mengajak di jalan kebenaran tak pernah akan sirna, sampai kapanpun. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word