RASULULLAH Saw bersabda: “Kondisi seorang mukmin begitu mengagumkan. Semua kondisinya merupakan kebaikan, dan tidak akan ditemukan hal semacam ini kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, dan kondisi ini adalah kebaikan untuknya dan jika ia ditimpa keburukan ia bersabar dan kondisi ini juga kebaikan untuknya.” (HR. Mulim)
Kondisi seorang mukmin senantiasa baik, karena ia diliputi oleh dua keadaan, yaitu ia bersabar terhadap hal yang ia benci dan bersyukur dengan hal yang ia sukai. Sebagian salaf mengatakan,
“Iman terdiri dari 2 bagian, sebagiannya adalah sabar dan sebagian yang lain adalah syukur.” (Qaa’idah fi Ash-Shab)
BACA JUGA: Belajar dari Kesabaran Nabi Ibrahim
Seorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah hendaknya melazimkan kesabaran dalam tiga kondisi:
Bersabar di atas ketaatan hingga ia melaksanakannya.
Melaksanakan ketaatan butuh kesabaran, karena umumnya raga ingin bermanja-manja dan hawa nafsu mendorong untuk melakukan perbuatan sia-sia.
Allah Ta’ala berfirman.
“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132)
Bersabarlah dalam ketaatan, niscaya Allah akan tumbuhkan nikmat iman dengan sebab kesabaran. Jika nikmat dalam melaksanakan perintah Allah telah diraih, maka ketaatan tidak lagi menjadi beban atau penggugur kewajiban, tapi ketaatan akan menjadi kebutuhan dan sumber kebahagiaan bagi seorang hamba. Sebagaimana seseorang yang melaksanakan shalat untuk menggugurkan kewajibannya, bisa jadi ia merasa berat di awal, tapi jika ia jujur dalam niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan tumbuhkan iman dalam dirinya, sehingga shalat akan menjadi kebutuhan dan sebab kebahagiaannya. Demikianlah aqidah islam, iman akan meningkat dengan sebab ketaatan yang bertambah.
Bersabar untuk meninggalkan larangan
Sebagian orang mengira bahwa meninggalkan larangan lebih mudah dari melaksanakan perintah, karena melakukan sesuatu butuh usaha lebih besar daripada meninggalkan sesuatu. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Setan senantiasa menghiasi larangan dengan keindahan dan perkara yang disukai hawa nafsu.
Sebagian salaf mengatakan,
“Amal kebaikan bisa dilakukan oleh orang yang baik maupun fajir (jahat), namun hanya orang jujur yang mampu meninggalkan maksiat.” (Qaa’idah fi Ash-Shabr)
Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
Takdir Allah ada yang disukai adapula yang tidak disukai. Sedangkan orang yang beriman dalam menyikapi takdir Allah tidak lepas dari dua perkara, yaitu syukur dengan takdir yang ia sukai dan sabar menerima dan menghadapi takdir yang tidak menyenangkan baginya seperti sakit, musibah kehilangan anggota keluarga dan harta benda atau buruknya sikap manusia kepadanya.
BACA JUGA: Ini Beberapa Kiat Tingkatkan Kesabaran
Tidaklah Allah menghendaki suatu musibah atau kesempitan menimpa seorang hamba kecuali ada hikmah kebaikan untuk dirinya, dan Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya daripada dirinya sendiri.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Realisasi bersabar dengan takdir Allah adalah dengan :
1. Menjaga lisan dari mengumpat dan mengeluh
2. Tidak melakukan hal-hal yang menunjukan penentangan terhadap ketetapan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya, seperti : memukul-mukul wajah, merobek-robek baju dan yang semisalnya.
Hendaknya seseorang yang ditimpa musibah bersabar dan menghibur dirinya dengan janji Allah berupa pahala tanpa batas. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10). []
SUMBER: MUSLIMAH