Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz, selama ini saya merasa tidak ada masalah dengan kebiasaan bersalaman (berjabat tangan) dengan sesama jamaah di masjid. Tapi saya menjadi terganggu setelah ada yang mengatakan bahwa itu adalah perbuatan sia-sia, tertolak masuk kategori bid’ah. Mohon penjelasan ustadz, karena saya perhatikan juga banyak sekali di Indonesia yang melakukan demikian, masa sesat semua?
Terima kasih
Hery S, Pasar Rebo Jakarta
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Masalah ini menjadi masalah klasik dan terus menjadi kontroversial selama umat Islam tidak mau saling memahami dalam perkara yang sepele atau kategori furu’iyah, dan selama tidak mau cerdas dalam berislam. Terlebih sejatinya kebiasaan berjabat tangan selepas shalat telah ada pada masa abad pertengahan abad ke-3 H.
Sejatinya definisi bid’ah adalah, “Sesungguhnya yang dimaksud hanyalah sesuatu yang bertentangan dengan pokok-poko syariat (ushul) dan yang tidak sesuai dengan as-sunah.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab)
Karena itu, bid’ah bekutat pada hal pokok dalam agama dan yang tidak ada sandaran dalil sama sekali. Demikian Imam an-Nawawi memahami. Karena itu selama masih ada sandaran dalil umum dapat dipertanggungjawabkan. Seperti halnya berjabat tangan antarsesama muslim, hukum asalnya adalah nyunnah. Dalil untuk itu ada beberapa, di antaranya sabda Rasul saw, “Jika dua orang muslim bersalaman lalu bertahmid dan beristigfar kepada Allah maka Allah akan mengampuni keduanya.” (HR. Abu Daud)
Menarik diperhatikan, Imam an-Nawawi dan Imam al-‘Izz bin Abdul Salam menyatakan bertjabat tangan selepas shalat memang tidak ada dalilnya, tidak pernah dilakukan Nabi saw dan para sahabatnya. Tapi dengan melihat dalil umum (seperti tersebut di atas) maka menjadi suatu yang mubah. Terlebih bila di luar setelah shalat pun senantiasa menjaga bila bertemu berjabat tangan.
Bahkan dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam an-Nawawi, “Hukum asal berjabat tangan adalah sunah. Sementara kebiasaan masyarakat yang melakukannya pada kesempatan-kesempatan tertentu tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya yaitu sunah.”
Sementara pendapat yang memakruhkan atau membid’ahkan, menurut saya dikarenakan beberapa alasan berikut.
Pertama, bila diyakni demikian Rasul dan para sahabat melakukan atau ada dalilnya.
Kedua, bila diyakini memiliki fadhilah tertentu, maka ia bid’ah.
Ketiga, bila diyakini harus dilakukan, tidak boleh tidak dan menyalahkan yang tidak melakukan.
Tentu bila diyakini dalam tiga hal tersebut saya sepakat menjadi bid’ah adanya. Tapi bila hanya memandang dalil yang global tentang anjuran berjabat tangan sesama muslim, meyakini tidak ada dalil, tidak dikaitkan dengan keutamaan tertentu, dan tidak mempermasalahkan yang tidak melakukannya, maka adalah perkara yang boleh. Dalam hal ini semestinya kita dapat bertoleransi demikian pada masalah hukum yang lain, yang masuk kategori furu’iyah dan bisa dicari dalil globalnya.
Terakhir, mari kita bertoleransi dalam masalah yang sifatnya furu’iyah, tak perlu menguras energi umat dalam masalah ringan dan melupakan masalah besar. Terlebih agenda umat yang besar lebih banyak, untuk mengejar ketertinggalan dengan golongan yang lain.
Wallahu’alam. []
Rubrik “KONSULTASI” di www.islampos.com diasuh oleh H. Atik Fikri Ilyas, Lc, MA, Ketua Lembaga Dakwah LAZ Shadaqah Perekat Umat (SPU) Purwakarta, Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo & Universitas Amer Abdel Kader Aljazair, mahasiswa program Doktoral Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Silakan kirim pertanyaan Anda ke redaksi@islampos.com atau zhouaghi@yahoo.co.id