MERUPAKAN mufrodat (kekhususan) madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan secara mutlak, tanpa penghalang, dapat membatalkan wudhu. Hal ini didasarkan pada ayat :
أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَاۤءَ
“Atau kalian menyentuh perempuan” (QS. Al-Maidah : 6).
Penafsiran kata “lamastum” dengan makna “menyentuh” ini sesuai dengan qiroat lain (Hamzah, Ali dan Kholaf) yang membacanya tanpa alif :
أَوۡ لَـمَسۡتُمُ ٱلنِّسَاۤءَ
Tidak semua kata “lamasa” yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai ungkapan halus/tidak langsung (majaz) dari jima. Ada juga yang bermakna menyentuh secara mutlak, dan ayat ini termasuk diantaranya.
BACA JUGA: Syarat Tidur yang Tidak Membatalkan Wudhu
Contoh lain dalam ayat
فَلَمَسُوهُ بِأَیۡدِیهِمۡ
“lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri” (QS. Al-An’am : 7).
Juga dalam hadits :
لَعَلَّكَ لَمَسْتَ
“Barangkali kamu hanya menyentuh saja” (HR. Daruquthni, no.131).
Juga karena makna asli/hakiki dari “lamasa” adalah menyentuh, jika dipahami makna lain, yaitu jima sebagai makna majazi, perlu mendatangkan qarinah (keterangan pendukung yang memalingkan dari makna asli). Jika tidak ada, maka harus dipahami dengan makna asli.
Lalu mengapa madzhab Syafi’i mengecualikan tidak membatalkan jika perempuan tersebut mahrom (yang haram dinikahi), baik karena nasab, persusuan, maupun pernikahan (seperti mertua/menantu), padahal dalam ayat di atas disebutkan “perempuan” secara mutlak?
Ini dipahami dari sisi ‘illat (alasan hukumnya). Mengapa bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan termasuk kategori yang dapat membatalkan wudhu? Dipahamilah illatnya menurut madzhab syafi’i adalah bergeraknya syahwat (tsawaronusy syahwah). Bersentuhan kulit itu sendiri berdampak pada bergeraknya syahwat. Adapun terhadap mahrom, illat itu tidak ada, karena mereka bukanlah tempat untuk bangkitnya syahwat. Maka mereka dikecualikan.
Maka, termasuk pula membatalkan wudhu bersentuhan antara suami istri, karena justru ia adalah tempat bangkitnya syahwat.
Inilah argumentasi madzhab Syafi’i.
Kekuatan argumen pendapat ini diuji dengan adanya hadits yang secara jelas menyebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ : اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Dari Abu Hurairah, dari Aisyah, ia berkata : “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw. dari tempat tidur. Lalu aku mencarinya, lalu tanganku menyentuh bagian perut (dampal) kedua telapak kaki beliau, beliau sedang di masjid, dan kedua telapak kaki beliau dalam keadaan tegak berdiri, dan beliau berdoa, “Ya Allah! Aku berlindung kepada ridha-Mu dari kemurkaan-Mu dan kepada ampunan-Mu dari siksaan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksa)-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.” (HR. Muslim, No.486).
Hadits di atas secara jelas menyebutkan bersentuhan kulit suami istri tidak membatalkan wudhu, karena kalau membatalkan wudhu, niscaya Rasulullah saw membatalkan shalatnya dan berwudhu lagi, faktanya dalam hadits di atas tidak disebutkan.
Menyikapi hadits ini, sebagai konsekwensi memegang pendapatnya, para ulama syafi’i memahami hadits ini dengan ta’wil (memalingkan makna zahirnya kepada makna lain). Yaitu mereka manta’wil bahwa Aisyah menyentuh telapak kaki beliau itu berkemungkinan ada kain yang menjadi penghalangnya, ataupun kalau tidak ada penghalang, itu merupakan kekhususan bagi Nabi saw.
Pendapat madzhab Syafi’i ini berbeda dengan jumhur ulama, yaitu madzhab Maliki dan Hanbali memandang bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak secara mutlak membatalkan wudhu, tapi mesti ada batasan, yaitu mereka membatasi mesti disertai dengan adanya syahwat. Jika tidak disertai syahwat, atau tidak sengaja maka tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan madzhab Hanafi memandang bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan sama sekali tidak membatalkan wudhu, karena yang dimaksud dengan kata “lamastum” dalam ayat di atas adalah bentuk majaz bermakna jima, seperti penafsiran Ibnu Abbas ra. Ini juga sesuai dengan makna zahir hadits di atas.
Itulah perbedaan ijtihad para ulama, yang masing-masing memiliki argumen yang mereka anggap kuat. Di tengah perbedaan pendapat itu, tetap saja kita harus memilih untuk kita amalkan, karena fiqih itu hakikatnya untuk diamalkan. Memilih pendapat yang lebih menentramkan hati dan paling kuat diantara yang lainnya, sebagai bentuk amal terbaik yang kita lakukan untuk Allah SWT. Baik pilihan itu dengan taklid, artinya bermodalkan kepercayaan lebih kepada ulama tertentu untuk diikuti ijtihadnya, ataupun dengan penelitian, memeriksa dalil-dalilnya sesuai dengan kemampuan ilmu yang dimiliki.
BACA JUGA: Syarat Batalnya Wudhu karena Bersentuhan Kulit
Dalam pengamatan saya, yang masih sangat fakir ilmu ini, hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, termasuk suami istri, tidak membatalkan wudhu. Inilah makna zahir dari hadits tersebut. Adapun mentakwilkan kepada makna lain, yaitu bahwa itu berkemungkinan ada kain penghalang, ini adalah ta’wil yang jauh. Karena kalau ada kain penghalang pastilah akan disebutkan, karena makna asli “menyentuh” itu adalah langsung kulit bertemu dengan kulit. Juga mentakwilkan bahwa itu adalah kekhususan bagi Nabi, juga tawil yang jauh, karena semua yang dilakukan oleh Nabi saw adalah syariat yang mesti diikuti sampai ada dalil yang jelas yang menunjukkan kekhususannya, sementara tidak ada dalil yang mengkhususkannya .
Maka dalam hal ini, pendapat madzhab Hanafi terlihat lebih kuat. Bahwa bersentuhan kulit laki-laki dan peremuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, meskipun disertai dengan adanya syahwat. Dan kata “lamastum” itu adalah majaz yang bermakna jima. Jadi yang menjadi sebab batalnya wudhu itu bukanlah ada syahwat atau tidak saat bersentuhan, apalagi hanya bersentuhan, tapi dengan sesuatu yang lebih terukur yaitu apakah ada air yang keluar tidak dari kemaluan, baik itu madzi ataupun mani, atau jima secara langsung. []
Wallahu A’lam
Oleh: Ustadz Muhammad Atim