Oleh: Ilham Kadir
ILMU fikih menamainya “thaharah” atau bersuci sebagai syarat untuk melaksanakan ibadah-ibadah utama dalam Islam, terutama salat, baik wajib maupun sunnah. Ilmu bersuci adalah masuk dalam kategori ilmu terapan yang fardhu ‘ain, atau seluruh umat Islam wajib untuk tau teori dan praktiknya. Karena itulah setiap kitab-kitab fikih didahului dengan membahas masalah thaharah.
Thaharah ditilik dari segi bahasa bermakna bersih dan suci dari segala bentuk kotoran, sedangkan thaharah menurut istilah syariat adalah ‘mengangkat dan menghilangkan kotoran atau najis’.
Secara umum, thaharah dibagi menjadi dua bagian, maknawiyah dan hissiyah. Yang pertama bermakna, bersihnya hati dari segala bentuk kesyirikan dan kemaksiatan serta penyakit-penyakit hati lainnya. Hakikat thaharah tidak akan terwujud selama kesyirikan masih bersarang dalam hati. Inilah yang disitir firman Allah, Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam, (QS. At-Taubah: 28). Diperkuat dengan sabda Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari-Muslim, Orang-orang mukmin itu bukan najis.
Yang kedua hissiyah berarti sucinya anggota badan dari segala kotoran dan najis yang juga terbagi dari dua jenis: suci dari hadats dan suci dari najis. Hadats adalah sesuatu yang melekat pada tubuh seorang muslim yang menyebabkan terhalang melaksanakan ibadah sebelum bersuci seperti salat, thawaf, dll. Hadats pun terbagi lagi menjadi dua macam, kecil dan besar. Hadats kecil adalah sebuah kondisi yang mengharuskan seseorang berwudhu sebelum melaksanakan ibadah, misalnya kentut, buang air kecil, buang air besar, dan pembatal wudhu lainnya. Cara bersucinya cukup dengan berwudhu, berdasarkan firman Allah, Hai orang-orang beriman, jika kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu, tanganmu, sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu serta basuhlah kakimu sampai mata kaki, (QS. Al-Ma’idah: 6).
Ada pun hadats besar, yaitu kondisi yang mengharuskan seseorang mandi sebelum menunaikan salat, thawaf, dll., seperti junub, haid, dan nifas. Cara bersuci dari hadats besar adalah mandi. Berdasarkan firman Allah, Dan jika kamu junub, maka mandilan, (QS. Al-Ma’idah: 6).
Jenis thaharah hissiyah kedua adalah suci dari najis, wa tsiabaka fathohhir. Dan pakaianmu bersihkanlan, (QS. Al-Mudatstsir: 4).
Untuk bersih dari najis, ilmu fikih menamainya “al-istinja” dan “al-istijmar”. Pertama bermakna ‘membersihkan najis di bagian qubul [kemaluan] atau dubur [pantat] dengan menggunakan air’. Kedua, ‘membersihkan najis pada lubang kemaluan dan pantat dengan menggunakan, batu, tussu, dan sejenisnya.
Karena itulah, seorang muslim diwajibkan mengikuti tatacara buang hajat dan beristinja’ dengan baik dan benar, bila tidak, dia akan mendapat dosa besar dan azab kubur. Tersebutlah sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Mulism bahwa Rasulullah pernah melewati dua kuburan, maka ia pun mengabarkan, Dua penghuni kuburan ini sedang diazab! Tidaklah diazab karena masalah besar. Ada pun salah satunya, ia diazab karena tidak berhati-hati [menjaga diri] dari air kencing.
Ibnu Daqiqil ‘Ied mengatakan ketika mengomentari hadis di atas bahwa kedua penghuni kuburan tidaklah diazab karena masalah yang sulit untuk diatasi atau mencegahnya serta berhati-hati darinya. Bahwa sebenarnya masalah remeh, mudah, gampang bagi orang yang menjaga diri darinya, ia juga berkata, dua perkara itu termasuk dosa besar. Dalam hadis lain dari Ibnu Majah, Nabi bersabda, Buang air kecil merupakan penyebab yang paling banyak mendatangkan azab kubur.
Rasulullah lalu mencontohkan ketika buang air kecil dengan baik dan benar yaitu dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika jongkok untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing. Al-Hasan berkata, orang yang telah melihat Nabi menceritakan bahwa beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kakinya selebar-lebarnya sampai kami menduga pangkal paha beliau akan terlepas, (H.R. Ibnu Abi Syaibah, 1/121, disahihkan oleh Syekh Muqbil dalam ‘Al-Jami’ush-Shahih, 1/500).
Hadis lain, tentang buang hajat adalah tidak boleh menampakkan aurat termasuk dalam ruang-ruang rest room/toilet yang saat ini menyerupai kamar milik bersama. Sabda Nabi, menutupi aurat dari pandangan jin dan manusia saat buang hajat dapat dilakukan dengan mengucap ‘bismillah’ ketika masuk kamar kecil. Juga harus berusaha agar sekuat tenaga tidak terkena percikan najis, terutama air kencing, karena itulah disunnahkan jongkok dan tidak berdiri sebagaimana tatacara Nabi di atas.
Masalahnya, konsep rest room saat ini sangat tidak syar’I. Penulis beberapa kali menemukan tempat kencing yang disebut pot spot dengan menggunakan sensor, artinya ketika selesai kencing tidak disediakan alat untuk beristinja’ berupa air, atau beristijmar berupa tissue. Tidak diragukan lagi, model kencing dengan konsep pot spot sensor ini, selain tidak syar’i hanya akan mengundang azab kubur.
Yang dibolehkan adalah pot spot yang menyediakan alat untuk beristinja’ baik air maupun tissue, tentu saja air lebih utama, ada pun hukum kencing berdiri pada pot spot adalah mubah berdasarkan sebuah riwayat, Rasulullah melarang kencing berdiri, namun jika ia merasa aman dari percikan air kencingnya maka dibolehkan.
Huzaefah mengatakan, Rasulullah pernah mendatangi tempat pembuangan sampah [subaaathah] lalu beliau kencing berdiri. Ibnu Mundzir sebagaimana dirawikan Imam Bukhari berkata, Saya lebih menyukai kencing duduk, dan kencing berdiri hukumnya mubah.
Yang perlu dibenahi pada ruang rest room di tempat-tempat tertentu, terutama di hotel adalah, menyediakan sekat antar satu pot spot dan pot spot lainnya agar saling menjaga aurat. Selain ketersediaan bahan istinja berupa air dan tissue.
Adab-adab lainnya ketika masuk kamar kecil adalah mendahulukan kaki kiri sambil berdoa, Allahumma inni a’udzubika minal khubusi wal khaba’its. Ya Allah Aku berlindung dari gangguan setan jantan dan betina. Saat keluar, menggunakan kaki kanang sambil berdoa, Gufranaka. Aku mohon ampunan-Mu. Ada pula doa ketika sedang membasuh kemaluan, Allahumma hashshin farji minal-fawahisy. Ya Allah, jagalah kemaluanku dari segela perbuatan keji.
Sedangkan masjid-masjid hendaklah mempertahankan jenis toilet yang umum dan syar’I, tidak usah memaksa para jamaah kencing berdiri, kecuali terpaksa atau kepepet. Kencing sambil jongkok bukan saja untuk menghindari dari terkana percikan najis air seni tetapi penelitian menunjukkan, kencing dengan jongkok dapat mereduksi gangguan ginjal dan paling penting, itu adalah sunnah, pelakunya akan mendapatkan pahala, namun jika ia tinggalkan pun tak berdosa. Wallahu A’lam! []