MENJADI sebuah keharusan untuk bersungguh-sungguh (melawan) diri sendiri (hawa nafsu atau syahwat) untuk konsisten di atas kebenaran dan istiqamah dalam bertaubat. Karena sesungguhnya jiwa manusia membutuhkan kesungguhan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 6)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 69)
Makna firman Allah Ta’ala, “berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami” adalah berjihad melawan dirinya sendiri, orang-orang kafir, munafik atau berjihad melawan pelaku kemaksiatan dan setan. Ayat tersebut mencakup seluruh makna jihad, termasuk di dalamnya jihad melawan dirinya sendiri (hawa nafsu). Karena dalam ayat tersebut Allah Ta’ala tidak menegaskan siapa atau apa objek jihad yang dimaksud, sehingga mencakup seluruh makna jihad.
Oleh karena itu, jiwa (hawa nafsu) manusia membutuhkan tarbiyah (pendidikan dan latihan), perhatian, kesabaran, dan jihad. Hal ini sebagaimana ungkapan penyair,
وما النفس إلا حيث يجعلها الفتى فإن أطمعت تاقت وإلا تسلت
Nafsu itu bergantung pada perlakuan sang pemuda. Jika diberi nutrisi, dia akan menjadi baik. Jika tidak, dia akan menjadi liar.
والنفس راغبة إذا رغبتها وإذا ترد إلى قليل تقنع
Nafsu semakin menjadi, jika engkau melayaninya. Jika engkau menghasungnya, niscaya dia akan terbiasa.
والنفس كالطفل إن تهمله شب على حب الرضاع وإن تفطمه ينفطم
Nafsu layaknya bayi. Jika engkau membiarkannya, niscaya dia akan tetap menyusu sampai besar. Namun, jika disapih, niscaya dia berhenti menyusu.
Tiga bait ini sangatlah indah dan sesuai dengan keadaan jiwa manusia. Seorang mukmin yang kuat adalah mereka yang berjihad melawan dirinya sendiri karena Allah Ta’ala, sehingga mereka istiqamah di atas jalan kebenaran dan senantiasa memperhatikan batasan-batasan (syariat). Dengannya, Allah Ta’ala akan memberikan hidayah kepada jalan-Nya yang teguh dan lurus. Sehingga pada akhirnya, orang-orang beriman tersebut akan dikumpulkan bersama orang-orang yang berbuat ihsan (muhsin), sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]: 69)
Dan juga firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl [16]: 128).[]
Sumber:muslim.or.id