Oleh: M. Lili Nur Aulia
DIMUSUHI, dibenci, dicaci, difitnah atau diperangi. Tak ada manusia yang suka dengan suasana-suasana hidup seperti itu. Karenanya, di antara perjalanan hidup yang paling buruk adalah saat kita melewati proses hidup yang melahirkan musuh, mendatangkan kebencian, mengundang caci maki, atau mengobarkan perang. Masalahnya, perjalanan hidup ini mengajarkan, bahwa dimusuhi, dibenci, dicaci, dan segala bentuknya juga mempunyai hikmah. Hikmah itulah yang kemudian mempunyai korelasi dengan firman Allah swt kepada Rasulullah saw yang artinya, “Maka, orang yang semula terdapat permusuhan antara dirimu dan dia, sepertinya terjadi hubungan yang sangat dekat.. “ (faidzalladzii bainaka wa bainahu adawatun kaannahu waliyyun hamiim)
Saudaraku,
Bersikap baik, berkomitmen dengan yang baik, berusaha sekuat tenaga berada di pihak yang kita yakin kebenarannya, tidak lantas menganulir kebencian, permusuhan, pertentangan dari pihak lain. Akan tetap ada situasi yang menjadikan kita objek kebencian, fitnah, hingga caci maki dan permusuhan. Di sinilah kita harus bisa menerapkan seni hidup untuk bisa melewati situasi itu dengan tetap memetik manfaat dari kebencian dan permusuhan. Seperti seorang ulama Saudi, Salman bin Fahd Al Audah, menuliskan artikel bertajuk, “Syukran Ayyuha Al A’daa” artinya, Terima kasih wahai musuh.. Lihatlah bagaimana ia memaparkan manfaat musuh yang melakukan kezaliman atas dirinya.
BACA JUGA: Iri Dengki Musuh Nikmat
Pertama, ia tuliskan, “Terima kasih wahai musuh. Kalianlah yang menjadikanku sadar untuk mengendalikan diri dan tidak hanyut dalam gelombang pujian. Kalian dijadikan Allah swt agar aku tidak menjadi sombong akibat pujian berlebihan, atau anggapan baik yang hanya melihat kebaikan dari diriku.. “ Kedua, “Terima kasih wahai musuh. Bagaimanapun kalian memberi manfaat kepadaku, meskipun sebenarnya, kalian tidak mau melakukan itu. Kalian telah menciptakan kemampuan untuk berpikir lebih seimbang dan adil. Mungkin ada seseorang yang berlebihan menunaikan haknya, lalu kalianlah yang menjadi sebab keseimbangan. Ketiga, “Terima kasih wahai musuh…Kalianlah yang menerbitkan semangat, meletakkan tantangan, membuka kecermatan, mendorong untuk berkompetisi, agar seseorang bisa lebih berhati-hati, lebih disiplin, lebih cermat mendidik diri, dan menghiasi diri untuk memiliki sikap yang terpuji. Kompetisi adalah prilaku yang dianjurkan dalam syariat Islam. Allah swt berfirman, “Wa fii dzaalika fal yatanaafasil mutanaafisuun.. “ Kemuliaan kompetisi adalah harus dengan cara yang baik, dan niat yang bersih..
Keempat, “Terima kasih wahai musuh.. kalianlah yang melatih kami untuk mampu lebih bersabar dan lebih kuasa menanggung beban. Kalianlah yang membantu kami untuk lebih bisa menghadapi keburukan dengan kebaikan.. Kelima, “Terima kasih wahai musuh. Mungkin dalam timbangan amal ada kebaikan yang tidak bisa aku peroleh hanya dengan kebaikan dan amal shalih, tapi hanya bisa diperleh melalui kesabaran, menanggung beban, keridhaan, bisa menerima, toleransi dan maaf. Keenam, Terima kasih wahai musuh… Aku merasa mungkin ada sebagian kata yang menyakiti kalian. Tapi sungguh saya tidak bermaksud menyakiti kalian. Tapi saya katakan dengan sejujurnya, kalian adalah teman-teman sejati.” Sampai di situ, Syaikh Salman Audah memaparkan tulisannya. Bila kita mau merenung lebih dalam, kita pasti masih bisa memperpanjang daftar terima kasih kepada orang yang memusuhi dan membenci kita.
Mari teruskan saudaraku,
“Terima kasih wahai musuh, kalianlah yang telah menjadikanku lebih memikirkan kekurangan yang selama ini justru sulit teraba. Terima kasih wahai musuh, dengan ungkapan yang tegas, jelas, bahkan mungkin kasar, kalian bisa langsung mengarahkan nasehat yang sangat mengena di dalam hati sehingga aku bisa lebih berhati-hati melakukan apapun. Terima kasih wahai musuh, melalui cacian dan makianmu, boleh jadi aku justru terbebas dari belenggu syaithan yang ingin menjerumuskanku dalam sifat buruk yang kalian sampaikan dan mungkin saja aku terjerumus di dalamnya… dan seterusnya.
Saudaraku,
Jika kita telah yakin berada di jalan yang benar, kita tidak perlu khawatir dan takut dengan permusuhan atau kebencian yang muncul. Kita harus bisa menerima perbedaan, perselisihan, bahkan mungkin kebencian dan fitnah sebagai bagian dari alur hidup ini. Ini memang jalan hidup yang telah menjadi sunnatullah. Andai hidup ini mungkin berjalan tanpa ketidaksepakatan, tanpa perbedaan, tanpa permusuhan, tanpa perselisihan, tentu manusia yang tidak dibenci, yang tidak dimusuhi, yang tidak diperangi, adalah manusia mulia, utusan Allah, Rasulullah Muhammad saw. Ketinggian akhlaknya bahkan disebutkan oleh Al Qur`an, “Sungguh engkau berada di atas akhlak yang mulia… “
Tapi toh kemunafikan tetap saja ada di antara para sahabatnya. Bahkan penolakan, kebencian, fitnah, upaya pembunuhan, penghinaan juga muncul dari orang yang pernah bertemu dengannya. Itulah karena pertentangan antara kebenaran dan kebthilan itu memang seusia dengan umur manusia ada. Itulah juga karena ada yang dinamakan hizbullah (pasukan Allah) dan hizbusyaithan (pasukan syaithan), ada auliya-urrahman (para pembela Ar Rahman) dan aulia-u syaithan (para pembela syaithan).
Saudaraku,
Semua ini membuktikan bahwa memiliki musuh tidaklah buruk. Memiliki musuh berarti ada lawan yang harus dikalahkan, ada rival yang mesti ditaklukkan. Memiliki musuh akan membuat kita berpikir mengenai teknik ataupun strategi apa yang akan dijalankan, kapan menyerang, dan kapan bertahan. Memiliki musuh akan timbul harapan dan perjuangan untuk mencapai keberhasilan. Bukankah kalau mau hidup aman, kita harus siap untuk berperang? Ingat juga, bahwa musuh, tidak harus nyata dan kasat. Karena musuh ada yang nyata, dan ada yang tidak nyata. Setan melalui godaannya adalah musuh yang tidak nyata. Tapi itu menjadi musuh utama. Hawa nafsu, amarah, dan keinginan bertindak salah juga musuh yang juga harus ditaklukkan.
Saudaraku,
Ini hanya bagian dari kehidupan yang harus kita hadapi. Tapi bukan pula karena hal ini berarti kita justru menciptakan permusuhan dan mengundang perselisihan. Kita hanya wajib berpegang pada sesuatu yang kita yakini kebenarannya di sisi Allah swt. Itu saja.