Oleh: Aditya Budi
Penikmat Islamic Studies
adityabudi82@gmail.com
ILMU dan amal adalah satu tarikan nafas. Laksana pohon yang besar, maka amal adalah buahnya yang tengah tumbuh dan berjatuhan. Tanpa amal (buah), maka ilmu (pohon) itu akan sia-sia, setidaknya miskin makna tujuan ia ada.
Dengan ilmunya, ia bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri melainkan juga akan bermanfaat bagi orang lain. Orang berilmu meski tak mengajarkan ilmunya secara langsung, ia akan tetap bermanfaat dan bernilai bagi terciptanya tatanan masyarakat yang baik.
Pada suatu momen hidup kita pasti pernah mengalami dimana hari-hari dilalui penuh amal shalih dan tiada waktu yang terlewat kecuali penuh dengan kemanfaatan dan kerja produktif.
BACA JUGA: Ampunan dari Sepotong Roti
Pada waktu lain yang terjadi justru sebaliknya, kita biarkan waktu berlalu sekelibat terbuang sia-sia tanpa amal kebaikan yang optimal dan kita tak tahu seharian telah melakukan apa saja.
Untuk hari-hari yang penuh kebaikan, kita merasa senang dan bahagia setelah melewatinya. Sedang untuk hari-hari yang terbuang sia-sia, kita seakan ada rasa sedih. Mungkin kita tidak bermaksiat kepada Allah namun sedikitnya amal pada hari yang terlewat rasanya cukup membuat rasa penyesalan pada diri.
Namun perasaan penyesalan dan sedih pada hari-hari tanpa amal tidak akan dirasakan oleh semua orang, melainkan hanya akan dirasakan oleh orang-orang berilmu. Mengapa demikian?
Musabab orang berilmu tidak menjadikan harta dan materi sebagai ukuran keberhasilan. Orang berilmu tidak pula menempatkan jabatan atau karir sebagai bentuk capaian optimal dari setiap waktu yang ia gunakan. Orang yang benar-benar berilmu tidak menjadikan itu semua sebagai tujuan.
Orang berilmu beruntung bukan karena hartanya, bukan karena raihan prestasinya, bukan pula karena amanah jabatannya. Sekalipun ia memiliki semua itu, sekalipun ia mendapatkan semua itu karena ilmunya namun sungguh bukan itu nilai keberuntungannya.
Orang berilmu beruntung karena ia memahami arti dan tujuan hidupnya. Ia memahami nilai dan makna hidupnya. Ia tidak menjadikan hari-harinya terlewat kecuali dengan ketaatan dan kebaikan akan perintah-Nya dan jalan Rasul-Nya. Dan itu semua jauh melampaui dari sekedar harta, prestasi, jabatan, atau karir yang dipandang berharga oleh kabanyakan manusia.
Ilmunya menjadikan ia paham apa yang harus dikerjakan dan mana yang yang harus ditinggalkan. Ilmunya yang menjadikan ia tahu apa saja yang harus ditingkatkan dan yang mana saja yang harus dikurangi. Maka sungguh begitu beruntung orang-orang berilmu.
Hidupnya ia gunakan dengan penuh kebaikan, tidak terlampau mengagumi dengan remah-remah dunia seisinya.
Seseorang boleh jadi merasa bahagia dengan aktifitas kesehariannya, ia sibuk dengan hobinya, ia sibuk dengan pekerjaanya, ia sibuk dengan pergaulannya namun belum tentu itu semuanya menjadikan ia mulia.
Bahkan bisa jadi kesibukannya bermakna kosong tanpa arti. Kesibukannya laksana fatamorgana yang ia sangka indah dan menjanjikan kebahagiaan namun sejatinya ilusi tanpa arti yang hakiki.
Orang berilmu akan selalu meniatkan setiap aktifitasnya untuk meraih ridha-Nya. Meski ia barangkali tak memiliki harta berlebih, tidak pula memiliki jabatan atau kedudukan yang istimewa di mata manusia, namun ia tetap bahagia dan tenang dalam menjalani hidup. Sekali lagi, itu semua karena ilmunya yang menjadikan ia mulia.
Berkaitan dengan ilmu, Imam Ats-Tsauri pernah berkata, “Ilmu lebih diutamakan daripada yang lain karena dengan ilmu seorang hamba akan timbul rasa takut dan taqwa kepada Allah.”
Dalam mensyarah ucapan tersebut, Syeikh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa jika tujuan berilmu (maupun pencari ilmu) telah rusak, misalnya ia meyakini ilmunya mendatangkan keuntungan dunia berupa harta, kedudukan dan kehormatan.
Sungguh itu semua akan menggugurkan pahalanya dan amalnya akan jatuh, ia akan mengalami kerugian yanng nyata.
BACA JUGA: Fibonacci, Islam dan Sistem Angka Modern
Maka mereka yang berilmu akan menjadikan entitas ilmu itu melebur dalam tiap-tiap aktifitasnya. Tak akan terlewatkan aktifitas kerja-kerja harian tanpa disertai ilmu di dalamnya. Ilmunya dimulai sejak dari awal (niat) hingga tertuntaskannnya amal dan pekerjaan yang ia lakukan.
Ukurannya jelas, Allah dan Rasul-Nya sebagai jalan dan tujuan utamanya. Bukan untuk dunia semata, melainkan untuk nilai keduanya kemuliaan dunia dan akhirat. Rabbana atina fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah waqina adzabannar.
“Katakanlah : adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tiada mengetahui ? Sesungguhnya orang-orang berakalah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar : 9)
Ibnu Ath-Tha’ilah dalam Al-Hikam berkata bahwa “Sebaik-baiknya ilmu adalah yang disertai rasa takut kepada-Nya”. Salah satunya takut akan meninggalkan perintah-Nya, takut akan ketidakridhaan-Nya, takut bahwa harinya terlewat dengan sia-sia. Wallahu’alam Bishshawab. []