SIAPA belum pernah berutang? Utang duit maksudnya. Sekaya apapun seseorang di dunia ini tentunya pernah berhtang sekarang ini. Nah, saking lazimnya utang-piutang ini Islam sudah mengaturnya sedemikian rupa. Apa saja?
[1]. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utang nya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan,” (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
BACA JUGA: Jika Anda Terlilit Utang …
[2]. Pemberi utang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang .
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam utang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “Saya beri Anda utang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau Anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang ).” ( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
BACA JUGA: Inilah Doa Rasulullah Agar Terhindar dari Utang
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Aku mendatangi Nabi di masjid, sedangkan beliau mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4]. Berutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa.
Di antara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b). Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
d). Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang ) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berutang , karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa utang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya dengan utang tersebut. Allah melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan utang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan utang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang mengutang inya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
BACA JUGA: Mana yang Harus Didahulukan, Bayar Utang ataukah Berzakat?
[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang mengutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan mengubah utang , yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
[8]. Diperbolehkan bagi yang berutang untuk mengajukan pemutihan atas utang nya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan utang . Maka aku memohon kepada pemilik utang agar mereka mau mengurangi jumlah utang nya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9]. Bersegera melunasi utang
Orang yang berutang hendaknya ia berusaha melunasi utang nya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan utang nya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan utang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
BACA JUGA: Utang Itu Berat, Ini Buktinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran utang.” (HR Bukhari no. 2390)
[10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utang nya setelah jatuh tempo.
Allah berfirman: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utang nya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan utang . []
Sumber: Majalah Pengusaha Muslim, Edisi, Tanggal 15 November 2010