Oleh: Bagas Triyatmojo
SAYA punya seorang teman. Beliau tinggal di Bangka. Sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak, laki – laki, dilahirkan bulan September 2013 lalu.
Suatu saat beliau berkesempatan ke Jakarta, namun sendirian, tidak dengan keluarganya. Hingga akhirnya kami dipertemukan.
Kami berbincang panjang lebar, namun bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini. Di satu malam, beliau merapikan pakaian dalam tas yang dibawanya. Kemudian mengeluarkan sebuah pakaian, kecil sekali, terlalu kecil untuknya.
“Ini baju Ichi (nama anak laki lakinya)”, katanya.
“Lah, kenapa dibawa bawa?” Tanya saya.
“biarin, biar kalo pas lagi kangen sama Ichi, saya cium wangi bajunya, langsung deh di depan kepala saya kebayang bayang terus mukanya Ichi”, jawabnya sambil meledek.
Sempat membatin,”ada ada aja”. Namun seketika itu terpikir, memang demikian besar cinta orang tua kepada anaknya. Hingga dimanapun orang tua berada, yang terpikir hanyalah anaknya. Sampai sampai membawa sehelai baju anaknya, untuk melepas rindu karena berpisah dengan anaknya, padahal beliau ke Jakarta hanya sebentar saja.
Semula saya berpikir, agak lucu sepertinya. Tapi demikianlah, begitu besar cinta orang tua kepada anaknya.
Dimanapun, kapanpun, yang terbayang dan terpikir adalah anaknya, anaknya, dan anaknya. Bagaimana membesarkan si anak dengan baik, bagaimana menjaganya tetap baik hingga besar, bagaimana membesarkannya dalam kebahagiaan. Sebesar itulah cinta orang tua kepada kita, lebih besar dari yang mampu kita gambarkan.
Hingga kini kita mendewasa dan kedua orang tua kita semakin menua, sudah seberapa besar cinta kita kepada keduanya? Menemaninya ketika sepi. Hadir ketika membutuhkan kehadiran di sisi. Menjawabnya ketika suara senjanya memanggil. Mendengarkannya ketika bercerita. Menjaga setiap kerinduannya. Sudahkah? [ra/islampos]