SUASANA pasar siang yang gersang. Bising kendaraan bermotor lalu lalang.Wajah-wajah terlihat muram ditodong terik matahari. Tak terkecuali seorang sahabataku, sebut saja Ukhti.
“Aku harus ke sekolah, tapi aku sudah pusing inginnya pulang,” ujarnya.
Ukhti kemudian menjelaskan bahwa ia harus kesekolah untuk mengejar nilai olah raganya yang masih kosong. Aku merasa heran, karena Ukhti ku kenal sebagai murid yang cerdas. Aku bertanya mengapa nilainya masih kosong.
Dengan tak kurang muram Ukhti berujar, “Aku tak ikut praktek renang. Aku tak bisa berenang dan aku tak mau berenang.”
Hening sejenak. Aku mencoba menerka apa yang ia akan katakan, sebelum ia membuka mulutnya.
“Kakak, tahu kan kalau orang berenang itu bagaimana?”
Aku mengangguk, “Pakai pakaian panjang kan bisa…”
“Menggunakan pakaian panjang juga sama saja, saat masuk ke dalam air lekuk tubuh pasti akan kelihatan. Itu sebabnya aku tidak pernah berenang, bahkan sejak kecil aku tidak pernah dibolehkan berenang. Tapi guruku tidak pernah mau mengerti meskipun aku menjelaskan dengan cara baik-baik,” ujarnya tanpa jeda.
“Coba minta bantuan kepada orang tua untuk menjelaskan,” kataku.
“Sudah. Dan Kakak tahu apa jawabannya? Guruku bilang bahwa berenang itu adalah hal biasa. Katanya dalam hadits, Rasulullah pun memerintahkan kepada orang tua agar anaknya diajarkan berenang, berburu dan memanah. Guruku malah bilang bahwa jika aku tak mau berenang aku seharusnya tidak usah disekolahkan di sekolah umum saja.”
Aku tersentak, terlebih dengan penjelasan terakhir. Agaknya memang rumit kalau membicarakan sebuah komitmen.
“Aku dan orang tua akhirnya mencari hadits yang dimaksud, tapi yang kutemukan adalah bahwa yang seharusnya diajarkan berenang, berburu dan memanah itu anak laki-laki, bukan anak perempuan. Entahlah, Kak. Aku sudah bingung bagaimana mencari nilai ujian olah raga ku. Doakan saja semoga hari ini hanya diberi tugas makalah,” ujarnya.
Aku tersenyum, menepuk-nepuk pundaknya dan mengatakan Amin. Ia pun berlalu memisahkan diri dariku menuju mobil angkutan umum.
***
Suatu ketika setelah membicarakan hal itu, Ukhti datang menghampiriku dengan wajah yang terlihat sumeringah.
“Tebak nilai ujian olah ragaku!” katanya.
“Berapa memang?” tanyaku.
“Nilainya D,” ujarnya mantap.
Aku mengerutkan kening.
“Aku sodorkan ini kepada kedua orang tuaku, Kak. Orang tuaku tidak marah. Bahkan mereka bilang, mereka malah bangga padaku. Aku senang sekali Kak,” ujarnya dengan wajah tersipu. []