SEJAK kecil kita sering mendengar kata-kata, “Alah, bicara itu mudah!”, atau, “Yah, ngomong mah gampang!”
Tetapi betulkah demikian?
Bicara sembarangan, dusta, palsu, keji, menyakiti, sia-sia, dan bahkan mengandung dosa; barangkali memang tak sukar. Tapi memastikan bahwa setiap kata yang tergetar dari lisan kita itu benar isinya, indah caranya, tepat waktunya, bermanfaat bagi pendengarnya, dan berpahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla? Oh, tidak semudah itu, Anak Muda…
Ini perkara yang sungguh berat, takkan mampu dihela kecuali oleh orang yang mengenal dirinya, yang tak bicara melampaui ‘amal, ilmu, dan isi hatinya. Barangkali karena itulah, berkata yang baik adalah ukuran sejati tentang iman kepada Allah dan hari yang pasti.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” (Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47).
Sedemikian pula ada yang bermudah-mudah memaknai hadits tentang mengatakan kebenaran, seakan yang terpenting al haq tersampaikan tanpa mempertimbangkan bagaimana keadaan pendengarnya.
قل الحق وإن كان مرا
“Katakanlah yang benar, meskipun pahit,” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ath Thabarani, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).
Seakan-akan maknanya adalah, “Katakan yang benar olehku, meskipun pahit bagimu.” Seakan ia berarti, aku bebas bicara asal benar. Dengan itu, bukan urusanku jika kau sakit hati, panas telinga, dan merah muka.
Padahal dalam beberapa syawahidnya, kisah yang melatari hadits ini justru tentang seorang pedagang yang mengadukan bahwa dia mendapati barang dagangannya bercacat sedang dia tak dapat menuntut kepada tengkulaknya, sehingga apakah yang harus dia lakukan? Bicara jujur maka dia akan rugi besar bahkan mungkin bangkrut, atau menyamarkan aib dagangannya setidaknya agar balik modal?
“Katakan yang benar meskipun pahit.”
Dari sini kita tahu, makna awal yang shahih adalah “Katakan yang benar olehku, meskipun pahit bagiku.” Pahit bagi pengucapnya, bukan pendengarnya. Seperti yang dirasa pedagang itu. Dia rugi. Tapi seterusnya akan dipercaya. Maka benarlah teladan Rasulullah ﷺ yang tak pernah bicara menyakiti sesama.
Benar isinya. Indah caranya. Tepat waktunya. Bermanfaat. Berpahala. Betapa beratnya. Hingga Ibn Mas’ud berkata, “Tak ada yang lebih layak berlama-lama dipenjara daripasa lisan kita.” Mari berlatih bicara. Atau diam pilihan utama. []