Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
APA yang salah? Training semakin gencar, seminar bertubi-tubi, teknik presentasi juga semakin canggih, tetapi sulit menemukan jejak-jejak perubahan berarti. Betapa banyak training yang memukau, tetapi yang pertama kali berubahakibat training itu justru trainer atau motivatornya sendiri. Bukan karena ibda’bi nafsik, tetapi karena training-training itu memberi kesempatan kepada narasumbernya untuk mengubah penampilannya.
Apa yang salah pada ceramah-ceramah yang meriah, seminar-seminar yang hingarbingar dan tabligh akbar yang menggelegar? Beratus-ratus atau bahkan beribu manusia berduyun-duyun, tepuk-tangan membahana sangat menakjubkan dan gelak-tawa tak putus-putus sejak pembukaan hingga acara ditutup dengan pembacaan do’a yang puitis dan mendayu-dayu. Sesuatu yang tak pernah kita jumpai riwayatnya di zaman nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga beberapa generasi sesudahnya. Tetapi kenapa acara-acara mempesona yang sering kita subut majelis taklim itu justru tak meninggalkan jejak-jejak ilmu?
BACA JUGA: Muslimin Wajib Berilmu
Betapa banyak penceramah (sering disebut ustadz)yang dikenang karena lucunya, bukan karena membekasnya nasehat dalam jiwas ehingga kita bersedia untuk menengadahkan tangan berdo’a untuk kebaikan dan keselamatannya hingga yaumil-qiyamah. Kita datangi majelis-majelisnya, hingga ikuti do’anya dengan syahdu penuh haru sampai menitikkan airmata dan kita memperoleh kenikmatan dari katarsis itu. Tetapi apa yang salah sehingga do’a-do’a itu tak membekas dalam diri kita untuk benar-benar berharap hanya kepada Allah Ta’ala. Padahal demi suksesnya acara itu, kita sudah siapkan sound system luar biasa dahsyat sesuai spesifikasi minimal yang dipersyaratkan pembicara.
Betapa berbeda rasanya kalau kita mengenang bagaimana Imam Ahmad ibn Hanbal rahimahullah sangat hidup majelisnya. Padahal beliau tidak memakai sound system, LCD Projector dan slide yang memukau. Beliau juga tak memakai film-film pilihan untuk memberi gambaran yang hidup dari ilmu yang dijelaskan. Tetapi setiap keterangannya begitu hidup, terus membekas bahkan hingga beberapa generasi sesudahnya. Sementara ketika kita menampilkan film yang menegangkan, yang terus bergaung adalah filmnya. Bukan nasehat kita. Banyak yang datang untuk menyodorkan hard-disk untuk kemudian dicopy berantai.
Teringatlah saya tatkala Hamdun bin Ahmad Al-Qashshar ditanya, “Apa sebabnya ucapan para ulama salaf lebih besar manfaatnya dibandingkan ucapan kita?”
Beliau menjawab:
لأنهم تكلموالعز الإسلام ونجاةالنفوس ورضا الرحمن ، ونحن نتكلم لعزالنفوس وطلب الدنيا ورضا الخلق
“Karena mereka berbicara (dengan niat) untuk kemuliaan Islam, keselamatan diri (dari azab Allah Ta’ala), dan mencari ridha Allah Ta’ala, adapun kita berbicara (dengan niat untuk) kemuliaan diri (mencari popularitas), kepentingan dunia (materi), dan mencari keridhaan manusia.”
Perkataan Hamdun bin Ahmad Al-Qashshar ini dinukil oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitab beliau “Hilyatul Auliya'”. Saya tidak tahu apa yang akan beliau katakan seandainya beliau hidup di zaman kita ini. Di zaman ketika ‘ilmu dien masih jernih, agama masih amat membekas dan sunnah begitu hidup, Hamdun bin Ahmad Al-Qashshar sudah sedemikian gelisah. Lalu apa yang akan beliau katakan seandainya menyaksikan zaman ini ketika kita nyaris tak mungkin mendengar taushiyah dari ustadz-ustadz ternama kecuali apabila kita mampu menggenggam dunia dan menyediakan rupiah yang berlimpah? Di sisi lain, betapa amat mirisnya hati tatkala melihat rendahnya penghormatan kepada mereka yang datang menyampaikan ilmu tanpa meminta persyaratan yang memberatkan? Atau, inikah saatnya ketika kita terkadang harus meminta seekor kambing sebagaimana yang dilakukan oleh seorang sahabat radhiyallahu ‘anhutatkala meruqyah pemuka suatu kaum dengan bacaan Al-Fatihah. Tetapi sungguh,yang beliau kerjakan bukan karena hubbud dunya (cinta dunia).
Atau, inikah masa yang disebut dalam atsar shahih dari ‘Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad. Beliau berkata, “Sesungguhnya kalian (sekarang) berada dizaman yang banyak terdapat orang-orang yang berilmu tapi sedikit yang suka berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu zaman yang (pada waktuitu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang berilmu.”
Sungguh, nasehat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini tak bergeser sedikit pun dari sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani:
إِنَّكُمْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيْرٍ فُقَهَاؤُهُ، قَلِيْلٍ خُطَبَاؤُهُ، قَلِيْلٍ سُؤَّالُهُ، كَثِيْرٍ مُعْطُوهُ، الْعَمَلُ فِيْهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ. وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيْلٌ فُقَهَاؤُهُ، كَثِيْرٌ خُطَبَاؤُهُ، كَثِيْرٌ سُؤَّالُهُ، قَلِيْلٌ مُعْطُوهُ،الْعِلْمُ فِيْهِ خَيْرٌمِنَ الْعَمَلِ
“Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (HR. Ath-Thabrani).
Ada yang patut kita renungkan. Bagi para pembicara semacam saya, kitakah yang dimaksud oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu? Bagi mereka yang berusaha meraup ilmu dari para pembicara, perhatikanlah dari lisan siapa ilmu tentang dien ini engkau terima. Terlebih hari ini, ketika ceramah agama dan gelar ustadz begitu menjanjikan dunia sehingga kartu nama pun bertuliskan “Al-Ustadz”. Sesuatu yang sulit kita jumpai pada pribadi Imam Nawawi yang risih ketika digelari muhyidin, sementara hari ini gelar-gelar itu bahkan kita ciptakan sendiri.
Betapa berbedanya!
Atau…, telah tibakah masa yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang zaman fitnah? Sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Darimi, di antara tanda zaman fitnah itu adalah munculnya orang-orang yang bertekun mempelajari agama untuk tujuan selain agama, yakni demi meraih dunia.
O Allah, ampunilah hamba-Mu yang zalim ini. []