ADA yang menulis begini: “Ketika menyetujui kategori bid’ah hasanah, maka tidak ada argumen untuk menolak amalan seperti ini.”
Banyak orang yang mengira bahwa istilah bid’ah hasanah itu hanyalah istilah buatan orang-orang yang ingin berlepas dari Syariat, membuat ajaran agama sendiri, dan yang mendukung adanya istilah bid’ah hasanah, berarti ia harus menerima semua inovasi dalam agama ini, dan tak ada yang tercela.
BACA JUGA: Shalat Dhuha, Bid’ah?
Padahal, bagi yang mempelajari betul-betul penggunaan istilah ini, ia akan menemukan:
1. Istilah ini dan semisalnya digunakan oleh fuqaha Syafi’iyyah yang besar-besar, termasuk Imam Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu sendiri.
Para fuqaha ini menyatakan bid’ah (perkara baru yang belum ada di masa Nabi yang terkait agama) ada dua: jika ia sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ia adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan jika menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah ia tercela.
2. Semua yang terkategori bid’ah hasanah menurut para fuqaha Syafi’iyyah adalah hal-hal yang punya landasan dalam agama. Semisal pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, penulisan kitab Nahwu dan ilmu-ilmu alat lainnya, semuanya bertujuan melindungi ajaran agama ini dari penyimpangan. Atau Shalat tarawih berjamaah dipimpin satu imam, ia meskipun tidak benar-benar pernah berlaku di masa Nabi secara kontinyu, namun ada dasarnya dari Nabi.
Atau yang ramai di kalangan mutaakhkhirin, seperti peringatan Maulid Nabi dan semisalnya, ia dianggap bid’ah hasanah, karena kumpul-kumpul dan peringatannya itu terkategori ‘adah (bukan ibadah mahdhah) yang hukum asalnya mubah. Jika di dalamnya diisi dengan penyampaian Sirah Nabi, pembacaan doa dan shalawat, penyajian makanan, dll yang semuanya baik, maka peringatan tersebut juga baik.
BACA JUGA: Tidak Ada Contohnya, Bid’ah?
Adapun perkara baru yang dibuat-buat dalam agama, yang tidak berdasar bahkan dianggap merusak prinsip agama, seperti melalaikan shalat fardhu, dll, maka oleh kebanyakan fuqaha Syafi’iyyah ia terkategori bid’ah sayyiah atau bid’ah munkarah, seperti shalat raghaib di malam jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat baraah yang dilaksanakan di jum’at terakhir Ramadhan.
Ringkasnya, pembagian adanya bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah itu bukan kategori berdasarkan hawa nafsu, tapi kategori yang dihasilkan dari kejelian para ulama, melihat perkara yang tampak baru namun tetap ada pondasinya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan perkara baru yang diada-adakan dan bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah. []
Wallahu a’lam bish shawab.
Facebook: Muhammad Abduh Negara