PEMBAGIAN bid’ah menjadi lima hukum, seperti yang disebutkan oleh ulama Syafi’iyyah, menurut Sayyid ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf dalam “Al-Fawaid Al-Makkiyyah” adalah pembagian bid’ah secara bahasa. Beliau menyatakan:
أما البدعة اللغوية فمنقسمة إلى الأحكام الخمسة
Artinya: “Adapun bid’ah lughawiyyah (bid’ah secara bahasa), ia terbagi menjadi lima hukum.”
Kemudian beliau menyebutkan masing-masing hukum tersebut, yaitu wajib kifayah, haram, mandub, makruh dan mubah, beserta contohnya masing-masing.
Sebagian orang yang membaca hal ini, atau semisal ini, ada yang begitu gembira dan menganggap konsep bid’ah yang ia pahami dari ustadz dan syaikhnya, sama sepenuhnya dengan pendapat yang mu’tamad di lingkungan Syafi’iyyah. Tapi, apa itu benar?
BACA JUGA: Puasa Bulan Rajab Bid’ah?
Memang benar, pembagian bid’ah menjadi lima, atau pembagiannya menjadi dua, yaitu bid’ah sayyiah dan bid’ah hasanah, ditegaskan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah sebagai pembagian bid’ah menurut bahasa. Adapun bid’ah menurut pandangan syara’ hanya satu, dan ia haram, tertolak sekaligus munkar.
Namun bukan berarti yang dipahami sebagai bid’ah yang harus dijauhi oleh sebagian orang, itu juga yang dipahami oleh ulama Syafi’iyyah. Atau, setiap perkara baru yang berkaitan dengan urusan agama, semuanya bid’ah dan haram, itu juga yang dipahami oleh Syafi’iyyah. Itu tidak tepat.
Ulama Syafi’iyyah, dan banyak juga selain mereka, menyebutkan bahwa bid’ah menurut Syariah, yang haram dan tertolak itu, adalah setiap perkara yang disandarkan pada agama, namun ia tak punya dasar sama sekali, bahkan menyelisihi dalil-dalil Syariah.
Sayyid ‘Alawi As-Saqqaf, dalam “Mukhtashar Al-Fawaid Al-Makkiyyah”, menyatakan:
فكل قول أو فعل أو حال لم تشهد له أصول الشريعة بالصحة فهو بدعة مردودة وصاحبه مخدوع. وفي الحديث: (كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار). وهو محمول على المحرمة لا غير كما في “الفتاوى الحديثية” لابن حجر.
Artinya: “Setiap perkataan, perbuatan, atau keadaan, yang tidak dianggap sah oleh pokok-pokok Syariah, maka ia bid’ah yang tertolak, dan pelakunya telah tersesat.
Dalam Hadits disebutkan: “Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.” (HR. Muslim, sedangkan tambahan “kullu dhalalatin fin naar” diriwayatkan oleh An-Nasai). Dan ia dibawa pada hukum haram, sebagaimana disebutkan dalam “Al-Fatawa Al-Haditsiyyah” karya Ibnu Hajar Al-Haitami.”
Jadi, tidak semua perkara baru yang berkaitan dengan agama, adalah bid’ah munkarah. Karena bisa jadi, ia dilandasi oleh dalil umum yang menunjukkan ia disyariatkan, atau ia dilandasi oleh qiyas, atau mashlahah mursalah, atau ia hanya perkara ‘adah (tradisi yang dibuat oleh manusia) untuk mendorong umat Islam lebih taat pada agamanya dan tidak ada pokok-pokok agama yang ditabrak, dan seterusnya.
Karena itu, Imam An-Nawawi dalam fatwa beliau, saat ditanya tentang hukum bersalaman setelah shalat, beliau menyatakan, “Bersalaman hukumnya sunnah ketika seseorang bertemu dengan orang lain. Adapun mengkhususkannya setelah dua shalat ini (maksudnya, ‘Ashar dan Shubuh), maka itu terkategori bid’ah yang mubah.
Pendapat yang terpilih (al-mukhthar), bahwa jika dua orang yang bersalaman ini telah bertemu sebelum shalat, maka ia adalah bid’ah yang mubah sebagaimana disebutkan sebelumnya. Sedangkan jika keduanya belum bertemu sebelum shalat, maka hukum mereka bersalaman setelah shalat adalah sunnah (mustahab), karena itu adalah awal pertemuan mereka.”
BACA JUGA: Mencium Mushaf Alquran, Bid’ah?
Pada fatwa di atas, An-Nawawi tidak mengatakan bersalaman setelah shalat itu bid’ah munkar dan haram, karena Nabi tidak pernah melakukannya. Beliau hanya menyatakan bahwa ia bukan perkara yang mustahab, namun mubah saja. Kok mubah, bukan haram?
Pertama, karena bersalaman asalnya perkara yang disyariatkan. Kedua, tidak ada pokok-pokok agama yang ditabrak oleh aktivitas itu. Ketiga, pada dasarnya, setelah shalat orang boleh melakukan hal apapun yang saat shalat tak boleh dilakukan, termasuk bersalaman dengan sesama muslim.
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, saat disarankan oleh ‘Umar radhiyallahu ‘anhu untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena banyak penghafal Al-Qur’an yang wafat di medan jihad, awalnya beliau berkata, “Bagaimana saya bisa melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Namun setelah terus diberi masukan oleh ‘Umar, akhirnya beliau bersedia membuat kebijakan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf tersebut. Dan terbukti, kebijakan tersebut benar-benar maslahat untuk umat Islam sampai saat ini.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf ini, oleh sebagian ulama disebut dilandasi oleh pertimbangan mashalih mursalah. Sebagian lagi menyebutnya bid’ah hasanah. Yang jelas, itu menunjukkan tak semua perkara yang berkaitan dengan agama, yang tak ada di masa Nabi, konsekuensinya haram.
Mungkin ada yang beralasan, itu kan karena ada motif yang mendorong untuk melakukan itu di masa Abu Bakr, dan itu mengandung kemaslahatan besar bagi umat Islam, dan motif tersebut tidak ada di masa Nabi.
Kita katakan, kita terima argumentasi itu. Tapi itu tidak membatalkan kesimpulan yang kami sebutkan sebelumnya, bahwa tak setiap perkara baru yang berkaitan dengan agama, itu otomatis divonis bid’ah munkarah.
Imam As-Suyuthi dalam “Al-Hawi Li Al-Fatawi” mengutip fatwa dari guru beliau dalam riwayah, atau kakek guru beliau secara dirayah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tentang peringatan hari kelahiran Nabi:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فل
Artinya: “Asal aktivitas maulid adalah bid’ah, tidak dinukil dari satu pun salafush shalih yang hidup di tiga generasi pertama Islam yang melakukannya. Namun, di dalamnya terdapat berbagai kebaikan dan juga keburukan. Siapa saja yang bisa mendapatkan kebaikan-kebaikan tersebut dan menjauhi keburukannya, maka ia termasuk bid’ah hasanah. Jika sebaliknya, maka tidak.”
Pada fatwa di atas, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tidak memvonis aktivitas peringatan maulid Nabi tersebut sebagai aktivitas haram, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, bahkan generasi salaf.
Namun beliau merincikannya, dan menyatakan bahwa di dalamnya ada berbagai kebaikan, dan jika seseorang bisa mengambil kebaikan-kebaikan tersebut dan menghindari keburukan yang mungkin terjadi, maka itu adalah bid’ah hasanah, yang berarti sesuatu yang baik.
BACA JUGA: Shalat Dhuha, Sunnah atau Bid’ah?
Dalam lanjutan fatwa, beliau merincikan fatwa beliau di atas. Namun di sini, kita cukupkan saja. Yang jelas, ini lagi-lagi menjadi bukti, bahwa tak setiap hal yang berkaitan dengan agama, yang tidak ada di masa Nabi atau generasi salaf, otomatis haram dan tertolak.
Peringatan maulid Nabi ini, meskipun tidak ada di masa Nabi, tapi ia hanya perkara ‘adah (tradisi yang dibuat manusia) untuk mengingatkan umat Islam terhadap Nabi mereka, dan hukum asal dari ‘adah adalah mubah, sehingga tak layak divonis haram secara mutlak. Yang perlu dilihat adalah isi kegiatan di dalamnya.
Jika di dalamnya berisi kebaikan, seperti nasihat agama, pembacaan sirah dan syamail Nabi, menghidangkan makanan, dan semisalnya, maka ia baik.
Sebaliknya, jika di dalamnya terdapat kemungkaran, semisal campur baur laki-laki dan perempuan, dangdutan, atau berbagai ritual dan keyakinan yang bertentangan dengan Syariah, maka ia menjadi buruk.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara