Anis Matta
PERBEDAAN di antara ummat kita, dalam berbagai bentuk dan skalanya, memang mempunyai akar historis yang panjang, selain karena ia (perbedaan) memang dimungkinkan oleh berbagai muatan ajaran Islam yang lebih terbuka. Perbedaan-perbedaan itu tampaknya harus diakui sebagai sebuah keniscayaan, atau sebuah kenyataan yang tidak dapat kita hindari.
Secara historis, perbedaan-perbedaan dalam pandangan-pandangan aqidah telah melahirkan berbagai mazhab. Ada Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang terbesar, ada Syi’ah dengan berbagai aliran lagi di dalamnya, ada aliran Mu’tazilah yang juga punya pendukung di negeri kita, ada Khawarij, dan lain sebagainya. Sementara itu, perbedaan dalam pandangan-pandangan hukum atau fiqh, seperti yang telah kita kenal, juga melahirkan berbagai mazhab. Ada mazhab Hanafi, yang tertua dengan sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Asia Tengah, Turki, dan Syam. Ada mazhab Maliki, yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Afrika. Ada mazhab Syafi’i, yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Asia Tenggara, Mesir, dan lainnya. Ada mazhab Hambali yang sebagian besar pendukungnya tersebar di kawasan Teluk dan Syam. Sebenarnya masih ada lagi mazhab fiqh lainnya, tapi tidak sepopuler keempat mazhab tersebut.
Secara politik, perbedaan dalam tubuh ummat mulai tampak sejak meninggalnya Rasulullah Saw, dalam peristiwa pemilihan khalifah pengganti beliau. Disusul kemudian oleh peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan, konflik antara Ali dan Mu’awiyah, hingga munculnya khilafah Umayah yang berbasis pada keluarga, dan diikuti—kemudian—oleh khilafah-khilafah sesudahnya. Bahkan perbedaan dan konflik yang terjadi di antara sesama sahabat Rasulullah Saw itulah yang kemudian menyadarkan banyak ulama akan makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Hujurat: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9).
Perbedaan bukan hanya milik ummat Islam. Perbedaan adalah takdir yang ditetapkan untuk seluruh ummat manusia. Perbedaan adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Bahkan sejak perbedaan antara Qabil dan Habil berujung dengan konflik, dan konflik itu berujung dengan pembunuhan Habil oleh Qabil, dan pembunuhan menjadi dosa besar pertama anak cucu Adam. Perbedaan dan konflik tampaknya telah menyatu, dan kekerasan menjadi mazhab anak cucu Adam dalam menyelesaikan konflik.
Zaman Kematangan
Dalam sejarah ummat kita, perbedaan-perbedaan itu umumnya terjadi dalam ketiga aspek ini: aqidah, fiqh, dan politik. Sebagian dari perbedaan itu berujung dengan konflik, dan sebagian dari konflik itu berujung juga dengan peperangan. Perbedaan ini bersifat laten dalam tubuh ummat kita, tapi cara menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu—antara yang berujung dengan konflik dan yang tidak berujung dengan konflik, antara konflik yang berujung dengan kekerasan fisik dan konflik yang tidak berujung dengan kekerasan fisik—selalu berbeda sepanjang sejarah.
Dalam konteks ini, kemudian muncul sebuah pertanyaan sejarah: kapankah saatnya perbedaan itu tidak berujung dengan konflik? Dan kapankah saatnya konflik itu tidak mencapai intensitas yang tinggi dan karenanya tidak berujung dengan kekerasan fisik? Apakah yang menyebabkan perbedaan itu tidak berujung dengan konflik, dan konflik itu tidak berujung dengan kekerasan? Apabila kita berhasil menjawab pertanyaan sejarah itu, kita mungkin bisa menjawab sebuah pertanyaan yang agak normatif: bisakah kita membuat perbedaan itu berujung pada kesepakatan dan tidak mengubahnya menjadi sebuah konflik? Atau bisakah kita tetap bekerja sama sementara perbedaan Itu tetap ada? Atau bisakah kita melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk menangani secara bersama agenda-agenda besar kita? Atau bisakah kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam hal-hal di mana kita berbeda?
Apabila perbedaan merupakan suatu keniscayaan, maka adalah sia-sia untuk bekerja menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Yang harus diusung agenda-agenda besarnya di tengah berbagai perbedaannya, manakala ummat kita berada pada tingkat kematangannya yang baik. Kematangan itu dapat kita lihat pada tiga sisi: politik, ilmiah dan akhlak.
Kematangan Politik
Kematangan politik berarti bahwa ummat kita mengetahui dan menyadari agenda-agenda besarnya, prioritas-prioritasnya, waspada terhadap ancaman infiltrasi musuh-musuhnya, bersedia mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat sesaat demi kepentingan-kepentingan besar ummat yang bersifat strategis dan jangka panjang.
Kita bisa belajar dari kisah Khalid bin Walid, misalnya. Beliau tentu saja sakit hati ketika Umar bin Khaththab memecatnya justru setelah ia memenangi Perang Yarmuk. Tapi ketika seorang provokator menggodanya untuk melakukan pemberontakan terhadap Madinah, dengan menggunakan pasukan yang loyal padanya di sebagian besar wilayah Syam, ia malah menolak keras. Bahkan, sebelum wafat, beliau sempat berkata kepada Abu Darda, bahwa semula ia curiga kalau Umar memecatnya karena dendam masa lalu. Tapi setelah ia merenungi peristiwa itu lebih dalam, khususnya selama ia sakit, ia menyadari bahwa pemecatan itu semata-mata didasari oleh keikhlasan, cinta, dan kasih sayang Umar kepada dirinya. Tapi apa komentar Umar setelah Khalid wafat? Beliau mengatakan, “Semoga Allah merahmati Khalid, sungguh dia tidak seperti yang kita duga sebelumnya.”
Begitulah persatuan ummat ini terjaga di tangan orang-orang kuat dan matang seperti mereka.
Kematangan Ilmiah
Kematangan ilmiah berarti bahwa ummat ini mempunyai tradisi pencarian kebenaran yang solid, yang terlihat melalui konsep ijtihad, dan karenanya mereka tidak akan pernah mengatakan sesuatu tanpa landasan ilmu pengetahuan, senantiasa mencari kebenaran dan bukan kemenangan dalam debat, bersiap mengalah untuk kebenaran dan tidak membiarkan hawa nafsunya memenangkan keangkuhan, mau menghargai pikiran orang lain dan bersedia mendengar, tahu kelemahan dirinya dan mengakui kehebatan orang lain.
Lihat bagaimana tradisi ilmiah itu di kalangan para pendiri mazhab. Imam Syafi’i misalnya, suatu saat ikut melakukan shalat subuh di masjid Abu Hanifah di Kufa. Tidak seperti mazhab beliau yang mengharuskan qunut waktu subuh, saat itu beliau malah tidak qunut mengikuti mazhab Abu Hanifah. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau hanya mengatakan, “Karena aku ingin menghargai laki-laki yang membangun masjid ini.” Di lain kesempatan kita menemukan kisah yang juga unik. Imam Syafi’i adalah penemu Ushul Fiqh. Sementara itu, dikatakan bahwa Imam Ahmad tidak pernah mengetahui tentang al-‘am wal khaash, al-mujmal wal mufashshal, dan lainnya, sampai Imam Syafi’i menulis buku Al-Risalah dalam Ushul Fiqh. Tapi, suatu saat, Imam Syafi’i pernah (berkata) kepada Imam Ahmad: “Kamu lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah Saw daripada diriku, maka nanti jika kamu menemukan satu hadits Rasulullah yang shahih, dan bertentangan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku dan ikutilah hadits Rasulullah Saw, sebab itulah mazhabku.”
Di tangan ulama-ulama besar yang ikhlas dan memiliki kedalaman ilmu seperti itulah kita menyaksikan bagaimana perbedaan pendapat dalam fiqh telah menjadi sumber kekayaan ilmiah kita, dan keragaman-keragaman itu berubah menjadi faktor produktivitas yang memicu laju pertumbuhan peradaban Islam. Tapi fanatisme mazhab mulai tumbuh setelah ulama-ulama besar itu wafat, dan bermunculanlah ulama-ulama kecil, yang hanya bisa bertaqlid dan tidak bisa berijtihad, yang hanya memiliki ilmu ala kadarnya tapi bersikap seperti seorang ulama besar. Suatu saat dalam sejarah Islam, fanatisme mazhab itu bahkan sampai pada tingkat mengharamkan pernikahan antar-mazhab.
Dan inilah musibah kita saat ini, mimbar-mimbar fatwa dikuasai oleh ulama-ulama kecil, yang oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dilukiskan seperti ini: “Ia berangkat meninggalkan rumahnya pada hari Jumat, dan mulai belajar pada hari Sabtu, lalu kembali lagi ke rumahnya pada Ahad, tapi mulai berfatwa pada hari Senin pagi.” Di tangan mereka masalah kecil menjadi sebab percekcokan selama puluhan tahun, orang-orang Islam yang sama-sama bersyahadat dan sama-sama shalat lima waktu serta sama-sama berpuasa di bulan Ramadhan atau bahkan bertemu di depan Ka’bah, justru saling mengkafirkan satu sama lain.
Kematangan Akhlak
Kematangan akhlak berarti bahwa ummat ini mampu melampaui perbedaan-perbedaan di antara mereka, memandang perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah kewajaran yang harus ditoleransi dan diberi ruang dalam kehidupan kolektif kita, serta tidak boleh menjadi penghambat untuk bekerja sama, khususnya di saat kita menghadapi tantangan-tantangan besar, tragedi-tragedi besar, yang mengharuskan kita bersatu padu menghadapinya.
Berbeda dan bekerja sama adalah dua hal yang sebenarnya bisa disatukan manakala kita memiliki kematangan pribadi. Apabila kita mencoba membuat daftar berbagai kelompok Islam, lalu kita catat persamaan dan perbedaan di antara mereka dalam berbagai dimensi, maka kita akan menemukan bahwa ruang kesamaan itu akan jauh lebih luas dibanding ruang perbedaan. Tapi kenapa kita selalu menjadi sumpek dengan perbedaan itu?
Kematangan akhlak seperti itu akan menghilangkan berbagai macam sifat negatif dalam kita seperti dendam, iri hati, angkuh, sifat temperamental, senang dipuji untuk hal-hal kecil yang dilakukannya, dan lainnya. Pada waktu yang sama kita menumbuhkan berbagai sifat positif dalam diri kita seperti mendahulukan kerja atas bicara, mengalah untuk hal-hal yang tidak prinsip, lebih banyak bekerja sama daripada berdebat, menahan diri untuk tidak selalu (ingin) memenangi perdebatan, dan lainnya.
Ujung dari kematangan akhlak itu adalah orientasi yang kuat pada amal-amal yang nyata. Saat itu kita akan menyaksikan bahwa hanya kekosongan jiwalah yang biasanya mendorong orang untuk berdebat dan berbeda, dan bahwa orang-orang yang jiwanya dipenuhi dengan semangat kerja akan merasa kekurangan waktu untuk berdebat dan berbeda, karena seluruh energinya telah tersalurkan dalam kerja-kerja yang produktif.
Dalam konteks menjadi lebih produktif secara kolektif itulah Imam Syahid Hasan al-Banna memperkenalkan prinsip ini: “Kita bekerja sama untuk hal-hal yang telah kita sepakati, dan kita saling toleransi untuk hal-hal yang kita perbedakan.” []
(Artikel ini diketik ulang, dan disunting pada sebagian redaksional oleh Yusuf Maulana tanpa mengubah isi dan gaya penulis. Kali pertama artikel ini dimuat di Suara Hidayatullah edisi 08/Th XIV/Desember 2001 halaman 20-21).