Oleh: Ustadz Budi Ashari
Penggagas Parenting Nabawiyah
SIAPA yang tidak kenal Harun Ar Rasyid? Judul buku yang ditulis oleh DR. Syauqi Abu Khalil (أمير الخلفاء وأجل ملوك الدنيا /Amirnya para Khalifah dan raja paling hebat di dunia), cukup untuk menggambarkan betapa dahsyatnya tokoh yang satu ini. Sehingga tidak aneh ketika wajahnya dikeruhkan oleh orang-orang yang tidak suka melihat Islam besar, karena Islam sangat terasa kebesarannya di masa Harun Ar Rasyid. Sehingga muncullah di benak kita selalu tokoh Abu Nawas yang konyol itu dan kisah pesta pora di negeri seribu satu malam. Kesemuanya bersumber dari kedengkian terhadap kebesaran Islam dan tokohnya.
Maka bacalah dari sumber yang jelas dan shahih, kemudian rasakan kebenaran judul buku DR. Syauqi.
Saat Harun Ar-Rasyid sedang menyiapkan penggantinya dari anak-anaknya. Dia melihat diantara anak-anaknya yang paling layak adalah Al-Ma’mun. Keinginannya ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang berasal dari nasab mulia Quraisy; Zubaidah. Karena Zubaidah mempunyai anak dari Harun bernama Al-Amin. Sementara Al-Ma’mun hanya anak dari mantan budaknya.
Berita Harun yang lebih memilih Al-Ma’mun daripada Al-Amin membuat Zubaidah sangat gundah. Hingga ia menghadap Harun Ar-Rasyid dan mengadukan keberatannya. Harun berkata tegas:
“Sesungguhnya ini umat Muhammad dan tanggung jawab terhadap rakyat yang diberikan Allah ini terikat di leherku. Sementara aku tahu antara anakku dan anakmu. Anakmu tidak layak menjadi Khalifah. Dan tidak layak untuk rakyat!”
Tapi Zubaidah tetap ngotot, “Anakku, demi Allah lebih baik dari anakmu dan lebih layak untuk memimpin. Bukan orang dewasa yang bodoh juga bukan anak kecil yang tidak layak memimpin. Lebih dermawan jiwanya dari anakmu. Dan lebih pemberani.”
Harun menjawab lagi, “Sesungguhnya putramu lebih aku cintai. Tetapi ini Khilafah, tidak layak memegangnya kecuali orang ahli. Kita akan dimintai pertanggungan jawab tentang masyarakat ini. Kita tidak sanggup menghadap Allah dengan membawa dosa mereka.”
Lihatlah bagaimana seorang suami yang bijak. Walau ia lebih paham dari istrinya yang hanya mengedapankan rasa, tetapi Harun ingin menampakkan bukti secara langsung bahwa Al-Ma’mun lebih layak dari Al-Amin. Harun berkata, “Duduklah di sini, agar aku bisa tunjukkan kedua anak kita ini.”
Harun Ar-Rasyid dan istrinya duduk di kursi dan memanggil pertama kali Al-Ma’mun. Saat Al-Ma’mun datang, ia menundukkan pandangannya. Menunggu lama di depan pintu dalam keadaan berdiri. Lama sekali, hingga terasa pegal kakinya. Hingga diizinkan untuk masuk, ia pun duduk. Kemudian Al-Ma’mun minta izin untuk bicara. Setelah diizinkan, ia memulai dengan memuji Allah atas anugerah bisa melihat orangtuanya dan berharap Allah selalu memberi solusi dalam kepemimpinannya. Kemudian ia minta izin mendekat kepada Harun dan Zubaidah. Setelah diizinkan, Al-Ma’mun maju dan mencium kaki, tangan dan kepala ayahnya itu, selanjutnya mendatangi Zubaidah dan melakukan hal yang sama.
Kemudian dia kembali ke tempat duduknya semula. Kemudian ia mengucap syukur akan keberadaan ibu yang baik.
Selanjutnya Harun Ar-Rasyid berkata, “Nak, aku akan memberikan kepadamu kepemimpinan ini dan mendudukkanmu di tempat kekhilafahan. Karena aku melihatmu layak untuk menjadi Khalifah.”
Al-Ma’mun menangis dan memohon kepada Allah agar tidak mengambil ayahnya. Harun meyakinkan lagi bahwa ia layak.
Al-Ma’mun akhirnya menjawab, “Saudaraku lebih layak dariku. Dia putra tuan putriku. Menurutku ia lebih kuat dibandingkan aku untuk urusan kepemimpinan.”
Kemudian Al-Ma’mun pun keluar setelah selesai. Harun dan istrinya masih di tempat duduknya. Selanjutnya meminta agar Al-Amin datang menghadap.
Al-Amin datang dengan pakaian kebesarannya dan berjalan dengan angkuh. Dia langsung masuk dengan menggunakan sandalnya dan lupa mengucap salam. Dia terus berjalan hingga duduk sejajar dengan ayahnya di kursi.
Harun berkata, “Bagaimana menurutmu nak, aku ingin memberikan kepemimpinan ini kepadamu.”
Al-Amin menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, siapa lagi yang lebih berhak dibandingkan saya. Aku anakmu yang paling tua dan putra dari istri tercintamu.”
Harun berkata, “Keluarlah, nak.”
Setelah ujian ini, Harun berkata kepada istrinya, “Bagaimana kamu melihat antara anakku dan anakmu?” Zubaidah menjawab menjawab dengan jujur, “Anakmu lebih berhak.”
Harun menjawab, “Kalau begitu kamu telah mengakui kebenaran dan obyektif menilai yang kamu lihat.”
Setelah semua ini, sudah seharusnya Harun memberikan kepemimpinan kepada Al-Ma’mun baru setelahnya Al-Amin. Dan memang ia pun bertekad untuk itu.
Tapi anehnya, pada tahun 186 H, Harun Ar-Rasyid mengajak anak-anaknya berikut staf dan keluarga kerabat untuk haji sekaligus menjadi saksi atas surat perjanjian yang ditulis dan ditempel di Ka’bah.
Isi surat itu adalah pengganti setelah Harun adalah Al Amin dan setelahnya baru Al Ma’mun.
Ajaib kan?
Bukankah seharusnya adalah Al-Ma’mun baru Al-Amin, seperti tekad Harun sejak awal.
(perlu diketahui bahwa kedua anak Harun ini memiliki kompetensi kepemimpinan sebagaimana yang dikatakan oleh guru mereka: Al-Kisai)
Anda tahu jawabannya, mengapa Harun justru mengubah pendiriannya?
Para ahli sejarah mengatakan bahwa inilah posisi Zubaidah di hati Harun. Walau Harun telah berhasil ‘menaklukkan’ Zubaidah bahwa yang berhak adalah Al-Ma’mun di awal baru Al-Amin. Zubaidah pun telah mengakuinya.
Tapi tetap saja, permintaan awal Zubaidah menggema di hati Harun.
Zubaidah yang memerankan istri terbaik di hati Harun, terlalu agung untuk ‘disakiti’.
Karenanya wahai para istri yang baik dan mulia. Bisikan anda di telinga suami akan terus menggema di hatinya. Maka manfaatkan untuk membisikkan kebaikan. Jika bukan sekarang ia menerimanya. Suatu hari, semoga. []