Oleh: Fathiah Hayati
SORE itu saya sangat mengidamkan lumpia basah yang selalu nangkring di depan sebuah SMP negeri di Purwakarta. Selain murah, memang rasanya belum ada yang bisa menandingi. Apa memang saya baru mencicipi di tempat itu saja? Entahlah.
Muncul ide jenaka dalam pikiran. Sore ini lumayan panas, jalan kaki juga malas. Sepertinya jika menyuruh teman yang sekalian pergi keluar itu ide yang paling bagus. Langsung saja saya panggil teman yang tugasnya bolak-balik keluar kantor. “Kang-kang, mau keluar lagi gak? Lama gak?”
BACA JUGA: Masih kah Menawar?
“Iya teh mau berangkat. Bentar kok langsung balik lagi ke kantor,” timbalnya. Senyum pun tersimpul, dalam hati berucap syukur. Akhirnya ada juga yang mengabulkan. “Boleh titip gak, kang?” sambung saya, “Mau nitip apa gitu, teh? Iya mangga.” “Titip lumpia basah ya, yang di depan SMP itu lho! Yang katanya paling enak di Purwakarta,” jelas saya. “Oke siip,” ujarnya mengerti.
Tadinya saya berniat membeli lumpia basah langganan saya saja, yang memang sudah pas dengan lidah. Sekaligus pas dengan kantong. Tapi saya penasaran dengan saran dari teman saya yang menyebutkan bahwa di SMP sebelahnya, rasanya lebih mantap. Tidak ada salahnya kan mencoba?
Satu jam, dua jam, tiga jam saya tunggu-tunggu. Katanya sebentar, tapi kok lamanya minta ampun. Perut sudah berganti lagu keroncongan entah yang ke berapa kalinya. Pulang lebih awal pun rasanya tidak jadi, karena yang dinanti belum juga menampilkan baunya (maksudnya bau lumpia basah).
Saat kelaparan itulah saya ingat sesuatu. Saya tidak menyebutkan porsi yang saya inginkan, tiga ribu rupiah saja. Muncullah pikiran buruk, jangan-jangan dibelikan yang lima ribu. Setelah itu, muncul lagi pikiran buruk yang lain. Jangan-jangan dibelikan di tempat yang berbeda, terus rasanya pasti aneh.
Setelah pikiran itu muncul satu persatu, akhirnya sang lumpia basah pun hadir di hadapan saya. Nasi sudah menjadi bubur. Benar saja apa yang saya pikirkan tadi. Dibelikan lumpia dengan harga lima ribu rupiah dan rasanya cukup jauh berbeda.
“Begitulah, Allah sesuai persangkaan hambanya,” celetuk teman saya yang lain. “Tadi kamu bilang dan ketakutan, akhirnya kejadian beneran,” tandasnya.
Ada sedikit geram dalam hati, tapi apa daya semuanya telah terjadi. Hendak marah kepada yang membelikan pun tidak tega. Sudah jauh-jauh bersusah payah, tapi diterima setengah-setengah.
Sudahlah. Yang penting ada, urusan perut pun terselesaikan. Bersyukur saja masih bisa meni’mati rasa lumpia basah yang berbeda.
“Allah itu sesuai dengan persangkaan hambanya.” Jika hambanya berpikiran baik dan selalu bertawakal kepada-Nya, tentu Allah akan memberikannya dengan jalan yang terbaik menurut-Nya. Tentu dengan ikhtiar kita sebagai manusia.
Tapi, jika pikiran kita sudah buruk di awal hari. Maka yang terjadi pun akan buruk, karena tindakan kita akan sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Berhati-hati dengan pikiran kita. Jaga supaya tidak keluar dan bermain terlalu jauh.
BACA JUGA: Kata Bijak dan Nasihat Umar bin Khattab
Seandainya, kita mengeluh dan mencaci maki apa yang tadi telah diberikan. Itu sama halnya dengan manusia yang mengkufuri ni’mat-Nya yang Maha Rahman. Ibaratnya, sudah dibelikan lumpia basah tanpa harus bersusah payah. Tapi setelah itu mengeluh dan memaki yang membelikan.
Jika sudah seperti itu, seharusnya kita meni’mati saja pemberian-Nya. Karena apa yang terjadi dalam hidup kita, pasti itu yang terbaik untuk kita. Dan introspeksi lebih jauh diri kita, siapa tahu ada banyak kekurangan dan keburukan yang kita lakukan secara disengaja ataupun tidak.
Dan selalu ingat, Allah itu akan selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita inginkan. []